Kisah-Kisah Penderitaan Ali Hasjmy
Waktu tinggal di Padang, Ali Hasjmy sempat hidup menderita.
Ali Hasjmy di koran Serambi Indonesia | Sumber: koleksi arsip Perpustakaan dan Museum Ali Hasjmy
Minggu terakhir Agustus 1992, Thondi Rizal Putra bertandang ke rumah Ketua MUI Aceh Ali Hasjmy. Rencananya, koran tempat Thondi bekerja, Serambi Indonesia, ingin menerbitkan artikel tentang kisah hidup si tuan rumah di edisi akhir bulan. Ali Hasjmy pun dengan senang hati meladeni wawancara oleh Thondi.
Dalam wawancara itu, Ali Hasjmy membeberkan setiap kehilangan dan penderitaannya sejak kecil hingga tumbuh sebagai seorang pemuda. Ia membuka percakapan dengan menceritakan kehilangan pertamanya. “Pada saat saya usia tiga tahun, ibu saya sudah meninggal,” kenang Hasjmy.
Kisah kehilangan seakan bertalu dalam hidup Ali Hasjmy. Jika di masa kecil ia kehilangan orang yang melahirkannya, di masa dewasa ia kehilangan naskah-naskah tulisan yang dia lahirkan sendiri. Cerita kehilangan kedua ini terjadi titimangsa 1920-an, waktu Ali Hasjmy tengah menuntut ilmu di dayah Seulimeum, Aceh Besar.
Sewaktu menjadi santri, ia suka membaca artikel apa saja. Bacaan-bacaan itu lantas memengaruhi timbulnya hasrat jadi penulis profesional dalam benak Ali Hasjmy.
Ali Hasjmy memulai cita-cita itu di beberapa buku tulis setebal empat puluh halaman. Di buku-buku tulis itu ia membuat artikel tulisan tangan. Temanya macam-macam. Ada agama, sejarah, budaya, bahkan cerpen. Buku-buku tulis tersebut ia maksudkan sebagai naskah majalah yang nanti akan terbit dengan nama Suara Seulawah. Sayangnya, naskah majalah yang masih bayi itu dirampas tentara kolonial dalam suatu penggerebekan.
“Saya sempat membuat majalah itu sekitar 30 nomor atau edisi. Sayangnya, semua naskah-naskah majalah yang belum sempat dipublikasikan itu hilang ketika rumah kami digeledah oleh serdadu Belanda. Saya sedih,” ungkap Ali Hasjmy kepada Thondi.
Ali Hasjmy juga menceritakan penderitaannya saat kelaparan di tanah rantau. Pengalaman pilu ini terjadi sekitar tahun 1930-an, saat Ali Hasjmy tengah menuntut ilmu di Al Jamiah Al Islamiah, Padang, Sumatra Barat.
Waktu itu, dunia tiba-tiba dilanda krisis ekonomi mengerikan. Krisis ini kelak dikenal sebagai era Depresi Besar (1929-1939). Seluruh dunia terdampak. Orang-orang di seluruh benua kehilangan pekerjaan. Bisnis-bisnis gulung tikar. Jutaan penduduk kelaparan. Keluarga Ali Hasjmy pun terkena dampaknya. Bisnis ayahnya runtuh.
“Saya pernah makan sehari sekali selama enam bulan. Sekitar akhir tahun 30-an. Ketika masih sekolah di Padang, usaha dagang ayah saya bangkrut dan saya dikirimi uang secukupnya untuk ongkos pulang ke kampung. Saya bersikeras tidak mau pulang. Saya mulai mandiri dan bergiat menulis untuk bisa memperoleh uang demi menunjang hidup dan biaya pendidikan di rantau. Saat itu saya cukup menderita, tapi tetap tabah dan terus berjuang, melalukan berbagai aktivitas dengan membagi waktu sebaik-baiknya,” ungkap Ali Hasjmy, sebagaimana dimuat dalam Serambi Indonesia edisi 31 Agustus 1992.
Ali Hasjmy sudah 78 tahun saat diwawancarai Thondi. Di umur setua itu, semakin banyak kehilangan yang mesti dihadapi. Terutama kehilangan tubuh yang sehat. Biarpun masih bangun jam tiga pagi untuk menulis, ia sudah kehilangan kesanggupan fisik untuk kerja-kerja lapangan.
Oleh sebab itulah Ali Hasjmy tak lagi berdaya mewujudkan satu cita-citanya yang tersisa, yakni mendirikan sekolah kejuruan pertama di Aceh.[]