Pengalamanku Masa Perang Aceh: Kesaksian Tawanan Pasukan Suami Cut Meutia (Bagian 1)
Selama dalam tawanan pasukan Teuku Chik Tunong, Karim merekam bagaimana pola perjuangan orang Aceh melawan Belanda,
Atjeh Tram era penjajahan Belanda | Foto: Koleksi KITLV
Pengantar
Menyambut HUT Kemerdekaan RI, kami menurunkan sebuah kesaksian dari Abdul Karim, seorang lelaki Minang yang bekerja pada Belanda sebagai penginjak rem kereta api di Atjeh Tram yang beroperasi di Lhokseumawe. Kesaksiannya dituangkan dalam buku berjudul “Pengalamanku Masa Perang Atjeh” yang terbit tahun 1941. Dalam versi lain, buku ini diberi judul “Di Pinggir Krueng Sampoiniet” oleh Joesoef Syou’yb.
Karim mengaku ditangkap hidup-hidup ketika terjadi penyergapan Kereta Api di Lhoksukon oleh pasukan Teuku Cut Muhammad alias Teuku Chik Tunong ( suami pertama Cut Meutia). Sedangkan tentara Belanda dan penumpang kereta api lainnya mati ditangan Pang Nanggroe pada tahun 1902. Karim selamat dari pasukan Teuku Cut Muhammad yang dipimpin oleh Pang Naggroe karena mengaku dirinya Muslim dan mampu mengucapkan dua kalimat shahadat ketika pasukan Teuku Cut Muhammad hendak membunuhnya.
Selama dalam tawanan, Karim merekam bagaimana pola perjuangan orang Aceh melawan Belanda, yaitu membangun perlawanan terhadap Belanda dari lingkup keluarga dengan semangat jihad fisabilillah. Saat ditawan, Karim juga menyaksikan bagaimana pasukan Teuku Cut Muhammad pada November 1903 (sumber lain menyebut kejadiannya pada 21 November 1902) menghabisi 29 dari 45 tentara Belanda yang hendak menyergap Teuku Cut Muhammad.
Menurut Karim, penyergapan itu sebenarnya sebuah jebakan. Teuku Cut Muhammad sengaja mengirim seorang agen mata-mata untuk memberi tahu keberadaan pasukannya. Tak disangka, sebuah jebakan telah disiapkan.
Penyergapan itu dipimpin oleh Letnan P.R.D. de Kok, seorang perwira Belanda yang berpengalaman dalam pertempuran di hutan-hutan dan terkenal keberaniannya. Menurut Abdul Karim, De Kok turut menjadi korban dalam pertempuran di tepi Krueng Sampoiniet itu.
Kisah yang diceritakan Karim ini tak termuat dalam catatan sejarah resmi. Itu sebabnya, kami akan menurunkan kesaksian Abdul Karim ini secara bersambung setiap harinya selama Agustus di Pintoe.co. Semoga ada pelajaran yang dapat dipetik dari perjuangan berdarah-darah para pejuang di masa lalu dalam mempertahankan setiap jengkal tanah Aceh.
Selamat membaca.
***
Jadi Buruh Atjeh Tram
Sepasang mata yang tajam berwarna belau mengukur saya dari ujung rambut sampai keempu kaki, kemudian balik pula ke atas lambat-lambat sampai tiba tentang mata saja, lalu kedengaran suara yang hebat.
"Engkau?!", tanyanya.
Saya tetap berdiri dengan berani.
"Ya !'.', sahutku.
"Bah !"
Mata itu kembali mengukur saya. Tiada dapat saya mengatakan arti pandang itu. Akan dikatakan takjub, tapi serupa ada mengandung kurang percaya dalam hatinya.
Kejadian itu ialah pada suatu hari dalam bulan April tahur 1903.
Itulah mula pertama kali saya berhadapan dengan bakal sep saya, namanya van Barkel, berpengawakan gemuk, tegap, pendek, menjabat pangkat setasiun sep di Lho' Seumawe. Kemudian hari ia menjadi sep yang teramat sayang kepada saya.
Masa itu perang Aceh sedang menjadi-jadi. Banyak korban yang gugur dan banyak orang yang pergi mengantarkan nyawanya. Pada hari itu saya datang menemui tuan van Barkel untuk minta kerja sebagai masinis dalam Atjeh tram.
"Tidakkah kau merasa ngeri ?" katanya.
"Sebaiknya saya beri ingat kau lebih dahulu — berpahit-pahit kita — karena usiamu masih muda — bahwa nyawamu saban-saban (sewaktu-waktu) akan terancam oleh bahaya. Hampir setiap hari Atjeh Tram beroleh serangan orang muslimin. Baikpun (terkadang) jalan kereta api yang dibongkarnya, baikpun jembatan yang diruntuhkannya, maupun peluru dan anak-anak panah yang berlayangan dari tumpukan-tumpukan ilalang yang berada di sepanjang jalan kereta api. Kalau kau jadi masinis tanggung jawabmu besar. Kau tak merasa ngeri?," tambahnya.
"Tidak !" sahutku. "Siapa yang akan merasa ngeri kalau ia didorong oleh kemauan hatinya. Saya tiada ngeri dan tiada takut".
Hatiku pekat ketika berkata itu.
"Baik! Baik!" jawabnya.
"Kepekatan hatimu membesarkan hati saya. Kami memang sedang kekurangan orang. Berpuluh-puluh bahkan beratus orang lagi masih dapat kami teri:na. Sekarang coba buktikan apa kepandaianmu dalam kerja yang kau pinta," sambungnya.
"Tiada sebuah jua (tak ada kepandaian apapun)".
Tuan itu mengerecengkan matanya memandangi saja, sehingga saya kemalu-maluan. Pandir benar saya! Alangkah bodoh dan sombongnya saya, berani meminta kerja, yang sedikitpun tiada pengetahuan saya dalam hal itu. Tapi saja beranikan juga hati saya seraya berkata:
"Walaupun demikian.."
"Walaupun demikian bagaimana?" tanyanya. "Akan kau jerumuskankah Atjeh tram ke dalam jurang?" []
(BERSAMBUNG)