Sejarah Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh Masa Perang Revolusi Kemerdekaan
Anak-anak sekolah di Aceh dilarang pulang ke rumah saat terjadi serangan udara oleh pesawat tempur Belanda.
Beberapa anak muda tengah bekerja di sebuah ruangan tertutup | Sumber: T. A. Talsya
PINTOE.CO - Anak-anak Aceh dilindungi betul selama perang revolusi melawan Belanda (1945-1949). Para pembuat kebijakan di Aceh, baik di pihak pemerintah maupun militer, mengeluarkan sejumlah arahan atau kebijakan yang bermaksud menjauhkan anak-anak dari kematian akibat perang.
Selain karena sebagai generasi penerus, anak-anak Aceh dilindungi pula karena mereka turut berperan penting membantu perjuangan para orang dewasa di medan perang. Di Aceh Barat, misalnya, anak-anak perempuan ikut membuat tikar serta bantal yang disumbangkan kepada prajurit Indonesia. Pada 8 Maret 1948, sebanyak 49 lembar tikar dan 20 buah bantal diserahkan kepada markas militer setempat.
“Tikar-tikar dan bantal tersebut dikerjakan dengan tekun oleh wanita-wanita tua dan anak-anak dara,” tulis Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Modal Perjuangan Kemerdekaan (1990).
Meskipun anak-anak dibolehkan bekerja, jam kerja mereka dibatasi oleh pemerintah daerah. Sejak 26 Februari 1948, anak-anak usia di bawah 15 tahun tidak boleh dipekerjakan pada malam hari, tepatnya antara jam 7 malam hingga jam 5 pagi. Kebijakan ini juga diberlakukan terhadap pekerja perempuan, kecuali di perusahaan yang telah memperoleh izin dari pemerintah daerah.
Selain larangan kerja malam, pemerintah daerah juga membuat daftar pekerjaan-pekerjaan yang tidak boleh dilakukan anak-anak. Anak-anak tidak boleh dipekerjakan di tempat-tempat yang tertutup yang menggunakan mesin bertenaga listri dan alat berat semisal pabrik, bengkel, atau kilang minyak. Anak-anak juga dilarang dipekerjakan di tempat tertutup yang “di dalamnya ada orang bekerja sampai sepuluh orang atau lebih”.
Saat terjadi pengeboman oleh pesawat tempur Belanda, anak-anak berpotensi menjadi pihak yang paling telat keluar dari ruangan tertutup tempat mereka bekerja. Situasi ini membuat anak-anak berpotensi besar menjadi korban ledakan maupun reruntuhan bangunan.
Anak-anak Aceh sedang berpose dengan sebuah meriam di bengkel senjata Lhoknga
Bukan cuma di tempat tertutup, anak-anak juga dilarang dalam beberapa pekerjaan berat di ruang terbuka seperti di jalan raya, tempat penggalian tanah, proyek pengairan, rel kereta api, pelabuhan, gudang, tambang, bahkan perkebunan perusahaan. Di tempat-tempat ini, anak-anak biasanya diberi pekerjaan mengangkat barang-barang berukuran besar yang membutuhkan banyak tenaga. Oleh karenanya, pemerintah daerah membuat sedikit pengecualian. Anak-anak boleh saja dipekerjakan asalkan barang-barang yang harus mereka angkat ukurannya tidak terlalu besar dan berat.
“Pekerjaan-pekerjaan yang tidak boleh dikerjakan oleh anak-anak yang tersebut di atas, juga tidak boleh dilakukan oleh kaum perempuan,” kata Talsya. Pihak yang diberi wewenang untuk menegakkan peraturan ini adalah para pegawai di Jabatan Sosial Bagian Perusahaan. Mereka diberi kuasa untuk memasuki semua perusahaan, bengkel, dan tempat-tempat bekerja lain.
Sementara itu, militer aktif mengajari anak-anak sekolah di Aceh tentang cara menyelamatkan diri ketika terjadi serangan udara. Anak-anak dilatih membuat lubang perlindungan di sekolah masing-masing. Saat ada pengeboman oleh pesawat Belanda, mereka harus bersembunyi di lubang tersebut. Selama pengeboman berlangsung anak-anak sekolah dilarang pulang ke rumah.
“Guru-guru harus memimpin mereka membawanya ke tempat perlindungan yang sebaik-baiknya dan jangan gugup,” kata Talsya, sebagaimana ia kutip dari surat Maklumat Komandan Militer Kota Banda Aceh Nomor 30-1-U-1949.[]