Calon Bupati Aceh Timur Ditodong Pistol
Osman Adamy menempelkan ujung pistolnya di dada Abdullah Hussain dan bersiap menembak.
Tengku Husin Al Mudjahid
Segerombolan orang membawa Abdullah Hussain dari Langsa ke Idi. Mereka bergerak atas perintah seorang komandan militer yang gendut, pendek, punya pistol buatan Jerman, dan sangat keras wataknya: Tengku Husin Al Mudjahid.
Dalam pertemuan di Idi, Husin Al Mudjahid menjelaskan bahwa dia ingin mencalonkan Abdullah Hussain sebagai Bupati Aceh Timur yang baru dan berkantor di Langsa. Waktu itu, Aceh Timur sedang kosong kepemimpinan. Teuku Radja Pidie baru saja diberhentikan dari jabatannya sebagai Bupati Aceh Timur.
Pemberhentian itu dilakukan Gubernur Sumatra Utara Teuku Mohamad Hassan setelah peristiwa pembunuhan massal terhadap kaum uleebalang di Langsa dan kawasan Aceh lain. Pembantaian yang terjadi pada awal 1946 ini sering dinamai dengan istilah “revolusi sosial”.
“Dua hari setelah revolusi sosial itu terjadi di Langsa, pada suatu malam aku dibawa lagi ke Idi. Aku dipertemukan dengan Tengku Husin Al Mudjahid, karena ia menghendaki aku menjadi bupati di Langsa. Aku menolak tawaran itu,” ungkap Abdullah Hussain dalam buku Peristiwa Kemerdekaan di Aceh (1990).
Abdullah Hussain
Karena Abdullah Hussain menolak, Husin Al Mudjahid menawarkan jabatan lain. Dengan baik-baik, dia minta Abdullah Hussain sudi menduduki jabatan Wedana Langsa (semacam camat atau kepala wilayah).
“Itu pun aku tolak juga,” kata Abdullah Hussain. Padahal, posisi wedana saat itu juga sedang kosong. Wedana Langsa sebelumnya, Teuku Ali Basyah, telah ditangkap saat revolusi sosial. Ia dibawa ke Takengon dan dipenjara di sana.
Setelah pertemuan di Idi tak ada hasil, siasat baru dibuat Husin Al Mudjahid. Pada malam berikutnya, dia mengadakan rapat umum yang dihadiri para kepala desa, pemimpin organisasi, pegawai negeri, dan rakyat Langsa. Sambil dikawal anak-anak buahnya yang berseragam tentara dan berpistol, Husin Al Mudjahid membuka rapat.
“Setelah dia berbicara sebentar, lalu bangun Osman Adamy mengumumkan kepada hadirin bahwa mulai hari itu aku diangkat menjadi bupati di Langsa. Dengan serta-merta aku membantah pengangkatan itu,” kata Abdullah Hussain yang mulanya tak tahu ia bakal “dijebak” Husin Al Mudjahid dalam rapat tersebut.
Suasana rapat jadi riuh karena Abdullah Hussain berani menolak keputusan Husin Al Mudjahid di depan orang ramai. Setelah orang-orang mulai tenang, Abdullah Hussain ditarik paksa ke atas panggung yang agak tinggi. Osman Adamy lalu menodongkan pistol dan bilang kalau Abdullah Hussain berani menolak lagi, dia akan “dihadiahkan” sebuah tembakan di dada atau perut.
“Dengan mengacukan mulut pistolnya ke dadaku ia berkata: ‘Kalau ia tidak mau jadi bupati, kita angkat dia menjadi wedana. Dan kalau ini juga tidak mau, kita akan hadiahkan dengan ini!' Aku mulai takut melihat mulut pistol yang sudah dekat dengan perutku itu. Orang bertepuk tangan dan menjerit-jerit meminta supaya aku menerima pengangkatan itu,” Abdullah Hussain bercerita.
Abdullah Hussain ketakutan dan cuma bisa diam. Lalu Osman Adamy bertanya dengan suara keras, “Mau atau tidak?”
Pertanyaan yang intimidatif itu diajukan Osman Adamy dua kali. Abdullah Hussain lantas menjawab, “Kalau main pistol seperti ini, apa boleh buat. Saya terima”.
Orang-orang Langsa yang hadir dalam rapat langsung tepuk tangan bersorak senang. Akhirnya, sekarang mereka punya wedana baru. Husin Al Mudjahid dan Osman Adamy kini kembali ramah, tak lagi marah. Keduanya menyampaikan ucapan selamat kepada Abdullah Hussain atas jabatan barunya.
Karena Abdullah Hussain bersedia menerima jabatan Wedana Langsa, maka posisi Bupati Aceh Timur diberikan kepada Teuku Ali (adik Teuku Mohamad Daoedsjah). Terhitung sejak 1 Mei 1946, Abdullah Hussain menerima gaji tiga ratus rupiah per bulan dan Teuku Ali sebanyak lima ratus rupiah.
“Maka kami pun mulai menjalankan tugas masing-masing pada hari berikutnya,” kata Abdullah Hussain.[]
Follow Official WhatsApp Channel Pintoe.co untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.