Orang Aceh Terbiasa dengan yang Kecil-Kecil dan Sempit
Yang bikin orang Aceh hidup dalam situasi serba sempit adalah politik jahat pemerintah di Sumatra Utara.
Arsip catatan rapat pejabat-pejabat daerah Aceh dengan Menteri Dalam Negeri Raden Soenarjo | Sumber: DPKA
Ada yang bilang, Aceh jadi kecil dan tercekik kesempitan karena dua penyebab. Pertama, ukuran gerbong kereta api. Kedua, kesewenang-wenangan Sumatra Utara.
Sewaktu berada di Langsa pada 29 Juni 1947, Muhamad Radjab, wartawan dari Kantor Berita Antara, melihat fasilitas angkutan umum di kota itu serba kecil. Beda jauh dengan yang ada di Jawa. Radjab kemudian menceritakannya dalam buku Tjatatan di Sumatera (1958).
“Di Aceh ini kereta apinya kecil, lokomotof kecil, stasiun kecil, semua kecil. Sewaktu berjalan-jalan ke Stasiun Langsa, saya merasa masuk ke sebuah rumah kanak-kanak, dan melihat kereta kanak-kanak,” sentil Radjab dalam bukunya.
Menurut Radjab, masyarakat yang terbiasa dengan fasilitas-fasilitas berukuran kecil akan menjalani hidup dengan pikiran yang kecil pula. Pikiran kecil nantinya akan membuat sebuah masyarakat tak punya cita-cita besar. Tindakan-tindakan dalam kehidupan sehari-hari mereka hanya ditujukan untuk meraih hal-hal kecil yang tak mengarah pada kemajuan.
Dengan asumsi demikian, tanpa sungkan Radjab kemudian melontarkan kritik tajam. Dia bilang: “Orang Aceh sudah biasa dengan kereta kecil ini. Banyak mereka yang menyangka bahwa inilah kereta yang sebesar-besarnya di dunia. Orang yang hanya melihat barang-barang kecil dalam lingkungannya sukar sekali akan bercita-cita besar, dan dalam kehidupan sehari-hari mereka akan berpikir dan berbuat kecil. Berbeda dengan orang-orang yang telah luas pemandangannya, yang telah mengunjungi berbagai negeri, melihat gedung tinggi-tinggi, kereta api besar dan cepat, jalan yang lebar-lebar, pabrik yang hebat-hebat, dan penduduk yang pintar dan modern”.
Kalau Radjab menafsirkan ukuran kereta api sebagai faktor yang bikin orang Aceh rendah kemampuan berpikirnya, lain halnya dengan pendapat Amat Binuali. Menurut Kepala Jawatan Sosial Kabupaten Aceh Besar ini, yang bikin orang Aceh hidup dalam situasi serba sempit adalah politik jahat pemerintah di Sumatra Utara.
Amat Binuali menyampaikan pendapat itu langsung di hadapan Menteri Dalam Negeri Mr. Soenarjo dalam rapat yang berlangsung di Kutaraja tanggal 18 Maret 1955 (Arsip DPKA, nomor: AC01-230/13-230.2).
Ia menyebut bahwa setelah Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatra Utara, banyak orang Aceh jadi tak enak hidupnya. Banyak orang jatuh ke dalam bermacam kesempitan, terutama kesempitan ekonomi. Oleh karenanya, Amat Binuali minta Mr. Soenarjo mengembalikan Aceh jadi sebuah provinsi lagi; jadi daerah otonom yang tidak tunduk pada Sumatra Utara.
“Paduka Yang Mulia, kami orang yang berasal dari Aceh tidak banyak mengeluarkan pendapat oleh karena dalam keadaan kesempitan. Memang masyarakat yang sempit, pikiran pun sempit. Saya sebagai salah seorang yang berasal dari Aceh mengharapkan dengan sungguh-sungguh kepada Paduka Yang Mulia, agar daerah Aceh ini menjadi satu provinsi,” pinta Amat Binuali dengan nada merendah.[]