Pengusaha Tionghoa Ditangkap Polisi Lhokseumawe ketika HUT Bhayangkara
Pan Kie memang memiliki reputasi sebagai mafia atau penyeludup besar.
Pengumuman Keresidenan Aceh tentang larangan penyeludupan barang | Sumber: DPKA
Meskipun para personel polisi di Lhokseumawe sedang bergembira merayakan HUT Bhayangkara ke-2, bukan berarti mereka sedang libur menindak kejahatan.
Pada 1 Juli 1948, Kepala Polisi Lhokseumawe Teuku Abdullah Paloh menerima laporan bahwa tengah terjadi upaya penyeludupan kopra. Kabarnya, belasan ton kopra di Pelabuhan Lhokseumawe bakal diseludupkan ke Penang. Teuku Abdullah Paloh langsung mengumpulkan anak buahnya dan menjelaskan rencana operasi penggerebekan.
Di pelabuhan, Teuku Abdullah Paloh serta pasukannya berhasil menangkap enam karyawan Bea Cukai Lhokseumawe. Bos mereka adalah Pan Kie, seorang pengusaha Tionghoa pemilik Toko Pan Kie di Lhokseumawe.
“Sebagai barang bukti telah disita 204 goni kopra dalam sebuah motorbot yang hendak berlayar ke Penang,” ungkap Teuku Alibasjah Talsya dalam Modal Perjuangan Kemerdekaan (1990).
Sebanyak 204 goni kopra itu beratnya 15 ton. Pan Kie tidak mempunyai surat izin dari Keresidenan Aceh untuk mengeluarkan kopra ke luar negeri. Ia juga tidak membayar bea pajak kopra tersebut.
Dari pelabuhan, polisi bergerak ke Toko Pan Kie untuk mencari barang bukti lain. Di sini, polisi menemukan sebuah radio Philips buatan perusahaan Belanda, yakni Koninlijke Philips N.V. “Menurut penyelidikan polisi, (radio itu) juga dimasukkan secara gelap,” kata Talsya.
Pan Kie memang memiliki reputasi sebagai penyeludup besar. Setelah kemerdekaan Indonesia memang marak terjadi aktivitas penyeludupan hasil panen beras atau kopra. Pemerintah dan militer bekerja sama untuk mencegah penyeludupan barang baik dari Aceh ke luar maupun dari luar ke Aceh.
Mafia Tionghoa bahkan turut menyeludupkan uang palsu yang kemungkinan besar dicetak di Penang. Tiga bulan sebelum penangkapan Pan Kie, Polres Lhokseumawe terlebih dahulu telah menangkap dua orang Tionghoa di kapal yang baru tiba dari Penang. Keduanya adalah Fu Tjie Fung dan Ho Yok Fong.
Dalam penangkapan pada 27 April 1948 itu, polisi menyita 448 lembar ORIKA palsu. ORIKA adalah Oenang Republik Indonesia Keresidenan Atjeh. “Mereka berani memasukkan uang palsu itu karena diupah oleh seorang Tionghoa bernama Le Lay Seng yang tinggal di Penang,” sebut Talsya.
Tentu tak semua pengusaha Tionghoa di Lhokseumawe adalah mafia penyeludup barang-barang ilegal. Banyak di antara turut turut membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Bahkan, mereka juga menjadi korban kejahatan militer Belanda.
Misalnya pada 7 September 1947, dua saudagar Tionghoa di Lhokseumawe, A Nji dan Lang Sam, menderita kerugian besar akibat pengeboman yang dilakukan pesawat Belanda di Pelabuhan Lhokseumawe. Gudang milik keduanya habis terbakar.