Meskipun orang-orang menyebutnya gila, sebetulnya dia tidak gila.

Pengkritik Sukarno Tewas di Aceh Selatan

Presiden Sukarno | Foto: arsip koleksi Bisma Yadhi Putra

Yang dahulu mengecam dan memaki-maki Sukarno mulai ganti topik pembicaraan. Setelah DI/TII Aceh menyudahi pemberontakannya, orang-orang lebih sering membahas pembangunan, pendidikan, dan bagaimana dapat pekerjaan baru. Suasana politik Aceh pun jadi agak lengang.
 
Namun, di tengah suasana yang baru berubah itu tiba-tiba muncullah seorang laki-laki aneh yang berpidato bebas di Pasar Aceh, Banda Aceh. Sebelum memulai ceramah liarnya, ia selalu minta uang seikhlasnya dari orang-orang di pasar. 

Goloum jep kopi, pakiban meupidato? (Belum minum kopi, bagaimana mau pidato?),” ia merayu.
 
Meskipun orang-orang menyebutnya gila, sebetulnya dia tidak gila. Dia sengaja berpenampilan seperti orang gila biar diabaikan polisi dan tentara. Dengan demikian, ceramah-ceramah politiknya tersampaikan tanpa gangguan. 

Laki-laki eksentrik itu selalu membuka ceramah dengan teriakan: “Hanco klaha! Na loum? Peuduk! (Hancur lebur! Ada lagi? Bawa sini!)”. Lalu, mulailah ia dengan nyaring menyindir Sukarno serta Demokrasi Terpimpin.

Kepada para mustamik di pasar, ia menjelaskan bahwa Demokrasi Terpimpin-nya Sukarno adalah sistem politik jahat. Demokrasi semacam itu telah membuat kekuasaan menumpuk di tangan satu orang, yang lantas mudah dipakai untuk mengancam.

“Tidak hanya Islam akan terancam dengan gejala ini, tetapi juga agama-agama lain. Termasuk Nasrani!” pekiknya, sebagaimana dikisahkan Fachry Ali dalam esai “Oposisi Gaya Hancou Klaha” di majalah Tempo edisi 19 November 1983.

Rupanya, laki-laki itu tak cuma membuat “gerakan” di Banda Aceh. Dia bepergian pula ke tempat-tempat jauh untuk menyiarkan kritiknya terhadap Sukarno. Dia beraksi di Meulaboh, lalu ke Manggeng, lalu ke Labuhan Haji. Hampir setiap orang di kota-kota itu mengenalnya, termasuk anak-anak.

Saat popularitasnya lagi naik, ia tiba-tiba hilang, lenyap secara tak wajar. Menurut kabar yang kelak beredar, suatu hari ia menderita sakit dan memutuskan pulang ke kampung halamannya di Labuhan Haji, Aceh Selatan. Namun, perjalanannya tak tuntas. Ia cuma sampai Manggeng (sekarang dalam wilayah Abdya).

Di Manggeng, sebuah kota kecil yang sunyi, sekitar sepuluh kilometer dari Labuhan Haji, ia ditemukan sudah jadi mayat. Ia tewas diracun. Namun, tak pernah terungkap siapa pelakunya.
 

sukarno demokrasiterpimpin sejarahaceh ordelama majalahtempo