Sejarah Aceh 23 Juni: Majelis Penimbang Dibentuk untuk Mengurusi Harta Peninggalan Uleebalang Aceh
Banyak uleebalang kemudian membuat pengaduan kepada lembaga ini dengan harapan harta mereka yang dirampas semasa perang bisa dikembalikan.
Daftar harta kaum uleebalang yang dikembalikan Majelis Penimbang | Foto: koleksi arsip Bisma Yadhi Putra
Majelis Penimbang adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk mengurus harta benda peninggalan kaum hulubalang Aceh yang tewas dalam perang brutal pada 1945-1946. Perang berdarah-darah ini kelak dikenal dengan nama “Revolusi Sosial” atau “Peristiwa Cumbok”.
Majelis Penimbang dibentuk pada 23 Juni 1946 oleh Residen Aceh (pejabat eksekutif) Teuku Daudsyah. Lembaga ini diberi kewenangan untuk merebut atau menguasai harta-harta rampasan perang yang dimiliki secara tidak sah oleh siapa pun.
Selanjutnya, pengembalian harta tersebut akan dilakukan melalui proses pengadilan. Di pengadilanlah dilakukan pembuktian mengenai siapa pemilik sahnya. Bagi uleebalang yang sudah meninggal dunia, maka hartanya akan dikembalikan kepada ahli waris.
“Majelis Penimbang tersebut mempunyai hak kehakiman; keputusannya merupakan keputusan hakim, kekuatannya merupakan vonis yang tak dapat dibantah lagi,” demikian bunyi Pasal 3 Perda Aceh Nomor 1 tentang Pembentukan Majelis Penimbang.
“Supaya dari segala harta-benda peninggalan yang bersangkutan dikembalikan pada masing-masing yang berhak, baru maupun sudah lama...”
Banyak uleebalang kemudian membuat pengaduan kepada lembaga ini dengan harapan harta mereka yang dirampas secara ilegal semasa perang bisa dikembalikan. Dalam pengaduan itu, mereka turut menyebut identitas individu atau kelompok perampas. Sebaliknya, banyak pula penduduk melaporkan uleebalang yang merampas harta mereka.
Dalam perjalanannya, Majelis Penimbang banyak mendapat kritik. Berbagai kekecewaan disuarakan akibat tidak berjalan mulusnya proses pengembalian harta. Para uleebalang bahkan menuding para pejabat di lembaga ini mengambil harta yang seharusnya mereka kembalikan kepada pemiliknya.
Hingga meletusnya pemberontakan DI/TII Aceh pada 1953, kritik-kritik terhadap Majelis Penimbang masih terus muncul.