Sejarah Aceh 15 Juli: Belanda Terbukti Sebar Hoaks terkait Tawanan Marsose
Jumlah wanita yang tidak diketahui apakah suaminya masih hidup kira-kira 200 orang.
![Sejarah Aceh 15 Juli: Belanda Terbukti Sebar Hoaks terkait Tawanan Marsose](/gbr_artikel/marsose_4.webp)
Pasukan Marsose Aceh mengawal seorang pendeta berkuda di Aceh | Sumber: Ibrahim Alfian (1987)
PINTOE.CO - Semasa tentara Jepang menduduki Aceh, ribuan orang Ambon, Jawa, dan Manado ditangkap lalu dipenjara di Kamp Lawe Sigala-gala, Kutacane. Mereka dahulunya tergabung dalam Korps Marsose yang bertugas di Aceh.
Penahanan itu kemudian dimanfaatkan pihak Belanda untuk melancarkan fitnah agar nama baik Indonesia tercoreng. Di forum-forum internasional, Belanda mengatakan bahwa para tahanan di Kutacane diperlakukan dengan keji atau tidak manusiawi oleh pihak Indonesia. Padahal setelah Jepang kalah perang, semua tahanan itu diberi makan, baju, dan bahkan pekerjaan oleh orang-orang Aceh.
Untuk mengecek kebenaran isu yang diumbar Belanda, dua orang perwakilan Palang Merah Internasional (Intercross) pada 15 Juli 1946 pergi ke Kutacane. Keduanya adalah C. H. Helbling (dari Jakarta) dan H. Luthfi (dari Medan).
Di lapangan, fakta yang dilihat keduanya jauh dari perkataan Belanda. Di Kutacane, orang-orang Jawa, Manado, Timor, dan Ambon tampak hidup tenteram dan nyaman di sebuah kampung yang baru mereka buat sendiri.
Dalam dokumentasi Batu Karang di Tengah Lautan (1990), Teuku Alibasjah Talsya menyebutkan bahwa dalam peninjauan itu Helbling memuji orang-orang Aceh karena terbukti telah mengasuh para bekas tahanan dengan adil serta manusiawi.
“Secara umum, situasinya adil dan Anda telah melakukan pekerjaan yang baik di masa genting ini,” kata Helbling memuji orang Aceh serta Gubernur Sumatra Mr. Teuku Muhammad Hasan.
Setelah Jepang kalah perang dan mengabaikan penjara Lawe Sigala-gala, para tahanan dibebaskan dan diurus dengan baik oleh penduduk lokal. Namun, jumlah mereka tak sebanyak saat masa awal penahanan dahulu.
Di tahun 1942, Jepang menahan lebih dari 8.000 orang di Kamp Lawe Sigala-gala. Namun ketika Palang Merah Internasional melakukan peninjauan pada 15 Juli 1946, total jumlahnya tinggal sekitar 1.000-an orang. Di antaranya ada 367 orang Ambon, 425 orang Jawa, 89 orang Timor, dan 121 orang Manado.
“Jumlah janda dan wanita-wanita yang tidak diketahui apakah suaminya masih hidup kira-kira 200 orang. Di antaranya 50 orang telah kawin dengan lelaki setempat. Anak yatim yang dipelihara Pemerintah Republik di Aceh 64 orang,” ungkap Teuku Alibasjah Talsya.
Malahan, sebanyak dua ratus lebih bekas tentara musuh itu telah dipercaya masuk ke dalam TRI atau Tentara Republik Indonesia. Mereka terdiri dari 65 orang Manado, 23 orang Ambon, 83 orang Jawa, dan 38 orang Timor. Sementara di bidang medis, ada ada 3 orang Manado dan 5 orang Ambon serta Jawa yang diterima sebagai anggota baru Palang Merah Indonesia (PMI).
Di samping itu, ratusan bekas tahanan yang ingin pulang ke kampung halaman diurus keberangkatannya oleh pemerintah daerah.
Temuan-temuan Palang Merah Internasional di Kutacane membantah seluruh fitnah yang disebarluaskan Belanda.[]