Sukarno bilang, Allah tak pernah mengharamkan kata “merdeka” keluar dari mulut perempuan.

Sejarah Aceh 15 Juni: Kunjungan Pertama Presiden Sukarno ke Aceh

Presiden Sukarno bersama perempuan-perempuan Aceh

PINTOE.CO - Pilot asal Amerika, Robert Earl Freeberg, berhasil mendaratkan dengan mulus pesawat RI 002 di Lapangan Terbang Lhoknga pada 15 Juni 1948, jam 12.45. Sesaat usai pintu pesawat terbuka, Presiden Sukarno muncul dengan wajah kelelahan.

Tetapi sebagai pemimpin, Sukarno tetap harus lempar senyum dan menyapa ramah ratusan ribu orang yang bersorak gembira ketika melihat langsung dirinya. Orang-orang yang senang bukan main bertemu Sukarno itu datang dari kampung-kampung, bahkan dari dusun-dusun di pergunungan terpencil.

“Telah lama menjadi angan-angan di hatiku untuk mengunjungi rakyat Aceh. Selalu kuhadapi halangan pekerjaan dan rintangan lain. Tetapi akhirnya dikabulkan pula oleh Allah subhanahu wa taala, dan hari ini aku berdiri di tengah-tengah saudara-saudara dan anak-anak sekalian,” ucap Sukarno dalam pidato sambutannya, sebagaimana tercatat dalam buku Perkundjungan Presiden Soekarno ke Atjeh (1948) yang disusun Djawatan Penerangan Atjeh.

Bersama Sukarno turut sejumlah pejabat negara, dokter, petinggi militer, serta fotografer. Rombongan ini disambut oleh para pemimpin Aceh, lalu bergerak ke Pendopo Keresidenan Aceh di Banda Aceh.

Setibanya di Banda Aceh, penyambutan Sukarno jauh lebih ramai. Orang-orang meninggalkan pekerjaannya demi mendapat kesempatan menatap langsung wajah Sukarno, juga demi melihat langsung Sukarno berpidato. Selama ini, mereka hanya mengenali Sukarno dari poster-poster dan mendengar suaranya lewat siaran radio.

“Seluruh kota, selama Presiden berada di Aceh, seperti suasana hari raya,” kata Talsya dalam Sekali Republiken Tetap Republiken (1949).

Selama di Aceh, Sukarno berkunjung pula ke Sigli dan Bireuen. Ia mengadakan pertemuan-pertemuan dengan rakyat umum untuk memberikan pendidikan politik. Dalam setiap pidatonya, Sukarno menerangkan bagaimana cara kerja kolonialisme, imperialisme, dan mengapa semua orang Aceh harus bersatu melawan penjajahan.

Dalam pertemuan khusus dengan para perempuan di Gedung Bioskop Banda Aceh, 16 Juni, Sukarno menjelaskan bahwa ada keselarasan antara syariat Islam dengan keterlibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan. Sukarno bilang, Allah tak pernah mengharamkan kata “merdeka” keluar dari mulut perempuan.

“Tidak ada hukum syariat yang melarang wanita berjiwa merdeka. Tidak ada hukum syariat yang melarang wanita memekikkan ‘merdeka’. Tidak ada hukum Islam yang melarang wanita turut dalam pergerakan,” seru Sukarno.

Lebih lanjut, Sukarno memaparkan bahwa bukan Islamisme, tetapi kapitalismelah yang membuat perempuan di seluruh dunia menderita. Ketika perempuan berhasil meraih hak untuk bekerja di pabrik, kapitalisme merusak hak itu dengan pemberlakuan jam kerja panjang. Untuk itulah Sukarno mengajak perempuan Aceh melawan durasi kerja tak manusiawi. Dengan penekanan perlawanan tersebut mesti berlandaskan sosialisme.

“Di dalam hidup berkeadilan atau di dalam sosialisme, banyaknya jam kerja itu akan dikurangkan. Bukan 10, bukan 12, bukan 15, bukan 17 jam, tetapi paling banyak 8 jam bekerja,” Sukarno menerangkan.

Selain untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat, misi lain Sukarno ke Aceh ialah untuk meminta kesediaan rakyat Aceh membantu perjuangan kemerdekaan dengan mengumpulkan dana pembelian pesawat. Rakyat Aceh kelak bersedia menyanggupi permintaan ini. Bahkan dana yang terkumpul melebihi target. Alhasil, bukan hanya pesawat Dakota C-47 yang berhasil dibeli, tetapi juga mesin cadangannya. []

sukarno sejarahaceh pesawatdakota sejarahbandaaceh kemerdekaanindonesia