Penyandang Disabilitas Bicara: Kami Butuh Aksi, Bukan Sekadar Janji Politik
Kami merasa tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat. Padahal, kami hanya ingin menjalani hidup seperti orang lain
Guru penyandang disabilitas tuna sensorik, Syifa Urrachmah (kanan).
PINTOE.CO - Penyandang disabilitas di Provinsi Aceh masih menghadapi berbagai masalah dalam upaya untuk dapat menikmati fasilitas publik, misalnya trotoar dan halte.
Walaupun peraturan tentang kesetaraan akses sudah ada, seharusnya ditaati, namun kenyataannya infrastruktur publik masih harus disesuaikan agar kebutuhan disabilitas terakomodasi.
Guru penyandang disabilitas tuna sensorik, Syifa Urrachmah, mengungkapkan aksesibilitas masih menjadi tantangan khususnya di Provisni Aceh.
"Saya sering kesulitan berpindah tempat. Trotoar memang ada fasilitas disabilitas, tapi kadang dihalangi tong sampah. Gedung-gedung pemerintah juga banyak yang tidak memiliki jalur khusus, dan halte di Banda Aceh belum ramah disabilitas," kata Syifa.
Syifa mengaku, untuk menggunakan Trans Koetaradja, ia harus meminta bantu orang lain untuk naik ke bus. "Ini yang menjadikan saya dan teman-teman disabilitas merasa tidak mandiri," ujarnya.
Guru di SMA 12 Banda Aceh ini, menilai masalah ini berdampak pada psikologis bagi disabilitas di Banda Aceh.
"Kami merasa tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat. Kami juga ingin menjalani hidup seperti orang lain," ungkapnya.
Sementara itu Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Aceh, Hamdanil, menyebutkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat sebenarnya sudah membuat regulasi untuk mendukung aksesibilitas. Namun, pelaksanaannya masih lemah.
"Aturan itu sering jadi dokumen biasa. Banyak bangunan baru baik itu milik pemerintah maupun swasta belum akses disabilitas. Ini salah satu bukti lemahnya pengawasan dan komitmen pemerintah terhadap disabilitas," kata Hamdanil.
Menurutnya penting melibatkan penyandang disabilitas dalam perencanaan infrastruktur. "Tanpa melibatkan kami, pemerintah tidak akan tahu apa yang benar-benar dibutuhkan," jelasnya.
Pilkada Aceh 2024, dua pasangan calon gubernur menawarkan solusi atas masalah ini.
Pasangan nomor urut 1, Bustami Hamzah-M Fadhil Rahmi, berkomitmen menjadikan inklusi disabilitas sebagai prioritas dalam program kerja mereka.
"Kami akan memastikan penyandang disabilitas mendapat akses penuh ke fasilitas publik, termasuk jalur pemandu tunanetra dan fasilitas pendidikan yang lebih inklusif," ujar juru bicara mereka, Hendra Budian.
Menurut Hendra, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama atas layanan publik. "Ini bukan sekadar janji kampanye, tetapi langkah nyata untuk membangun Aceh yang inklusif dan berkeadilan," katanya.
Sementara itu, pasangan Muzakir Manaf-Fadhlullah juga menyebutkan pentingnya memperbaiki fasilitas publik untuk disabilitas.
"Perhatian terhadap kebutuhan disabilitas selama ini minim. Kami akan fokus membangun fasilitas transportasi yang benar-benar inklusif," kata Muzakir Manaf, atau Mualem, dalam pertemuannya dengan komunitas disabilitas di Kantor Mualem Center, di Jalan Moh Daud Beurueh, Banda Aceh.
Mualem menambahkan bahwa pembangunan Aceh yang lebih inklusif harus menjadi prioritas. "Ini bukan hanya memperbaiki, tapi merancang Aceh yang ramah untuk semua," tegasnya.
Faktanya, hingga saat ini, trotoar dan halte di ibu kota Provinsi Aceh masih jauh dari ramah disabilitas, membuat aktivitas sehari-hari penyandang disabilitas terhambat.
"Kami ingin hidup seperti orang lain, tapi dengan fasilitas seperti ini, apa itu mungkin? Kami butuh aksi, bukan sekadar janji politik para calon gubernur Aceh," pungkas Hamdanil.[]