Pilgub Aceh 2024: Matinya Pikiran?
Pikiran yang mati itu terjadi di debat ketiga dengan insiden kisruh yang berujung batalnya debat ketiga. Juga matinya pikiran karena ada pihak yang tidak menggunakan ilmu pengetahuan untuk memverifikasi alat elektronik

Ilustrasi. (Foto: Hukum Online
PINTOE.CO - Besok, 27 November 2024, semua kita akan ke TPS. Di dalam bilik kecil itu, kita akan mencoblos, paslon nomor urut 1 atau paslon nomor urut 2.
Menurut survey LSI, 37.4 persen yang sudah menentukan pilihan jauh-jauh hari. Itu pun, masih mungkin berubah pilihan.
Mayoritas, sebesar 56.2 persen menentukan pilihannya di masa kampanye (sampai debat ketiga), beberapa hari jelang pencoblosan (termasuk hari ini), dan pada hari pencoblosan (besok).
Melihat karu pada debat ketiga, yang berujung gagalnya debat, terbuka kemungkinan perubahan peta elektoral, yang berbeda dengan hasil survey LSI yang ada.
Padahal, jika debat ketiga berlangsung sukses, sebaran informasi paska debat tidak cukup kuat efek viralnya sehingga tidak akan menambah poin (persentase) bagi salah satu Paslon.
Dengan kata lain, isu alat elektronik dan isu ikutannya, jauh lebih cepat viral sehingga berpotensi mendorong terjadinya migrasi dan pergantian pilihan.
Apa dasarnya? Bagi pemilih rasional atau masuk akal, gagalnya debat ketiga jelas mengurangi hak tahu bagi mereka. Mereka tentu mengandalkan debat sebagai bahan dalam menentukan pilihan. Jadi, besar kemungkinan marah kepada pihak yang telah menjadi pemicu batalnya debat.
Karena pemilih rasional ini lebih banyak dari generasi yang melek teknologi informasi maka mereka dengan cepat dapat memverifikasi dan memfasilidasi apakah benar alat elektronik yang diprotes itu berjenis aerphone?
Jika itu adalah microphone jelas ada pihak yang menjadi tertuduh telah dengan sengaja merugikan Paslon lain yang akan berusaha mencari perhatian dan dukungan melalui debat ketiga. Ini jelas menjadi sentimen negatif bagi paslon tertentu.
Lebih dari itu, sangat mungkin ada yang berpikir membandingkan Pilkada sebelumnya dengan Pilkada saat ini. Jika pada Pilkada yang lalu-lalu ada orang mati, maka pada Pilkada ini ada pikiran yang mati.
Pikiran yang mati itu terjadi di debat ketiga dengan insiden kisruh yang berujung batalnya debat ketiga. Juga matinya pikiran karena ada pihak yang tidak menggunakan ilmu pengetahuan untuk memverifikasi alat elektronik yang dipakai sebelum melakukan protes.
Adanya orang mati (korban) jelas tidak bisa diterima. Tapi, kematian pikiran juga tidak kurang bahayanya bagi ikhtiar Aceh membangun peradaban berbasih ilmu pengetahuan.
Ini jelas bukan sekedar isu sekolah tidak sekolah melainkan ancaman serius bagi negeri yang abai terhadap kemampuan berpikir kritis dan masuk akal. []