“Janji dari pemerintah pusat adalah teori saja," kecam Daud Beureueh.

Orang-Orang Medan Mengejek Daud Beureueh

Daud Beureueh

Daud Beureueh akhirnya dongkol dengan komentar yang dimuat dalam koran-koran di Medan. Berkali-kali ia dicap sebagai pemimpin yang tak peduli dengan masa depan pendidikan Aceh. Aceh kekurangan banyak guru, tetapi pemimpinnya tak becus mengatasi persoalan tersebut.

Daud Beureueh, seorang guru agama, tidak terima diejek begitu. Dia lalu meluapkan seluruh kegusarannya dalam rapat awal minggu, hari Senin, 31 Juli 1950.
 
“Dewasa ini banyak tuduhan-tuduhan yang dipercakapkan dalam masyarakat dan disiarkan dalam surat-surat kabar yang menyatakan bahwa pemerintah di sini sangat mengabaikan soal pendidikan. Kadang-kadang tuduhan itu sudah lewat daripada semestinya,” kecam Daud Beureueh.

Waktu itu situasi pendidikan di Aceh memang lagi sukar. Di banyak sekolah cuma ada sedikit guru, sedangkan jumlah murid sampai ratusan. Selagi problem itu belum tertangani, muncul lagi masalah baru. Guru-guru yang tersisa malah dipindahtugaskan pemerintah ke provinsi lain atau dikembalikan ke kampung asalnya di luar Aceh.

Dampak dari mutasi misalnya sangat terasa di Kota Langsa. Setelah sejumlah guru dipindahkan ke Tapanuli, Daud Beureueh menerima laporan bahwa beberapa SMP di Langsa “mengalami ketiadaan guru”.

Memang ada daerah yang berhasil menambah jumlah guru, misalnya Aceh Selatan. Awal tahun 1950, kabupaten ini mengangkat sebanyak tujuh guru baru. Mereka disebar di beberapa Sekolah Rakyat dengan gaji Rp50 per bulan. Selain itu, dibuat pula mutasi lokal, yakni dengan memindahkan guru di sebuah sekolah ke sekolah lain yang masih dalam wilayah Aceh Selatan. Hal itu bisa terwujud karena para pemimpin daerah bergerak cepat mencari dan mengangkat guru-guru baru (Arsip DPKA nomor AC02-05/1-5.1).

Oleh karenanya, Daud Beureueh merasa bukan dia yang tak becus dalam problem kekurangan guru di Aceh. Yang salah adalah para pembuat kebijakan di Sumatra Utara dan Jakarta.

“Sebenarnya hal ini bukanlah kesalahan pemerintah provinsi, tetapi adalah kesalahan dari pemerintah pusat. Kepada pemerintah pusat telah berulang-ulang diminta supaya guru-guru dikirim kemari dan guru-guru yang telah ada jangan dipindahkan sebelum datang penggantinya,” kata Daud Beureueh.

Pemerintah kemudian menanggapi permohonan itu dengan menyatakan bahwa pemindahan guru dari Aceh ke daerah lain akan dihentikan. Pemerintah juga berjanji akan mengirim lebih banyak guru ke Aceh untuk mengatasi kekurangan tenaga pengajar di banyak sekolah.

“Janji dari pemerintah pusat adalah teori saja. Karena hingga sekarang guru yang telah dijanjikan itu belum juga datang. Dan guru-guru yang ada masih dipindahkan juga padahal penggantinya belum ada,” semprot Daud Beureueh dalam rapat tersebut (Arsip DPKA nomor AC02-01/1-1.31).

T. M. Amin, seorang loyalis Daud Beureueh, sependapat dengan pernyataan itu. Dia juga mengatai para penuduh di Medan sebagai “orang-orang di Medan yang berpihak kepada Belanda”. Mereka masih dendam dengan orang Aceh yang dahulu menentang Belanda sehingga bertalu-talu “menyiarkan bermacam-macam tuduhan dalam beberapa koran yang terbit di Medan”.

Amin juga menambahkan penjelasan yang bersifat kesejarahan. Dia menyebut ketakcukupan guru di Aceh merupakan salah satu bentuk kerusakan pendidikan daerah akibat pendudukan Jepang. “Akibat dari Jepang, 75 persen alat-alat sekolah harus diganti dan diperbaiki,” sebut Amin, tanpa menjelaskan 75 persen itu ditentukan dengan cara bagaimana.

Agar pendidikan tak macet karena kekurangan guru, pemerintah daerah terpaksa menyiasatinya dengan menambah jam mengajar guru-guru yang masih ada. Kebijakan ini membuat para guru harus mengajar di Sekolah Rakyat dari pagi sampai sore. Namun, mereka diberikan honorarium atau upah tambahan sebesar f170 per bulan.

Dalam rapat tersebut, Daud Beureueh juga membantah isu yang diembuskan orang-orang di Medan bahwa para guru asal luar daerah sudah tak betah mengajar di Aceh karena gajinya sering terlambat dibayar. Terutama para guru di Langsa.

Kepala Kantor Keuangan Provinsi Aceh menjelaskan kepada Daud Beureueh bahwa gaji guru guru-guru di Langsa selalu dibayar tepat waktu. Bahkan terkadang gaji mereka sudah dikirim sebelum akhir bulan. Gaji bulan Juni 1950 sudah masuk tanggal 24 Juni. Kalaupun ada keterlambatan, itu cuma terjadi pada guru-guru yang telat menyerahkan laporan kerja.

Arsip notula Pemerintah Aceh pada  31 Juli 1950

daudbeureueh sejarahpendidikanaceh sejarahaceh sekolahrakyataceh pendidikanaceh