Kisah Budak Cinta dalam Arsip Sejarah Aceh
Perjuangan cinta Lian dan Sen terekam dalam arsip kependudukan Kutaraja periode 1947-1950.
Tandan tangan Tjia Sioe Sen dan Liong Sioe Lian dalam surat permohonan pernikahan mereka.
PINTOE.CO- Liong Sioe Lian adalah “gadis kerupuk” yang tinggal di Peunayong, Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Bersama mamanya yang sudah cukup tua, Tjhauw Njoek Koey, seorang janda 72 tahun, Lian mencari nafkah sebagai pembuat kerupuk. Perempuan cantik ini belum menikah, tetapi sudah punya pacar yang usianya tiga tahun lebih muda. Si berondong bernama Tjia Sioe Sen, seorang tukang sepatu di kota.
Lian dan Sen sama-sama sudah kebelet kawin. Setelah pembicaraan serius, keduanya sepakat untuk menikah secara resmi menurut hukum negara. Bukan sebatas menikah sesuai “adat istiadat Tionghoa” seperti banyak pasangan lain. Pada 20 Juni 1947, mereka mulai mengurus pendaftaran pernikahan.
Tempat pertama yang harus didatangi Lian dan Sen adalah Kantor Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantauan (GPTP) Kutaraja. Waktu itu, setiap pasangan Tionghoa yang ingin menikah harus terlebih dahulu membuat “Soerat Keterangan Kawin” di kantor organisasi ini. Langsung di hadapan Jie Thiam Lioeng, Ketua GPTP Kutaraja, Lian dan Sen bersumpah saling suka, saling cocok, dan sudah mendapat restu dari mama masing-masing. Keduanya sama-sama sudah tak punya ayah.
Sumpah Lian dan Sen kemudian ditulis dalam Soerat Keterangan Kawin. Dalam surat itu disebutkan bahwa Sen berjanji akan memperlakukan Lian “dengan sebaik2nja sebagai swami sedjati”. Secara tertulis, Lian dan Sen juga sepakat apabila salah satu dari mereka meninggal dunia, maka harta milik pihak yang meninggal dunia terlebih dahulu akan sepenuhnya menjadi milik pihak yang ditinggalkan. Setelah Lian dan Sen membubuhkan tanda tangan, Soerat Keterangan Kawin itu lantas diserahkan kepada Jawatan Pendaftaran Penduduk Kutaraja untuk ditelaah.
Enam hari kemudian, pihak Jawatan mengirim surat balasan yang menyatakan pendaftaran pernikahan Lian dan Sen terpaksa ditolak. Jawatan menyebutkan, laki-laki yang belum berusia 30 tahun harus mempunyai izin dari orangtua untuk mendaftarkan pernikahan. Saat itu, usia Sen masih 25 tahun. Seorang pejabat di Jawatan bernama Oesman kemudian menjumpai Liong In Moy, mamanya Sen, untuk menanyakan langsung apakah ia merestui pernikahan anaknya dengan Lian. Ternyata, Moy tak mengizinkan Sen menikahi Lian.
“Iboe dari Tjia Sioe Sen terseboet tidak sedikit djoega mengetahoei tentang maksoed perkawinan anaknja itoe dan menerangkan sekali-kali tidak memberi izin kepada anaknja oentoek berkawin dengan perempoean jang dimaksoed,” tulis Jawatan dalam Surat Nomor 7310/19/RA yang dikirimkan kepada GPTP Kutaraja.
Atas dasar itulah pihak Jawatan akhirnya menolak permohonan Lian dan Sen. Keduanya tidak memenuhi syarat administrasi untuk menikah secara resmi. Namun, Oesman memberitahu Sen bahwa ia masih punya cara lain agar bisa menikahi pacarnya, yakni dengan memperoleh izin menikah dari pengadilan negeri di Kutaraja. Dengan izin pengadilan, Sen bisa lekas menikahi Lian biarpun mamanya masih belum merestui.
Melalui surat itu juga, Oesman menegur pihak GPTP Kutaraja agar ke depan jangan membuat Soerat Keterangan Kawin sebelum memverifikasi identitas serta pengakuan pasangan yang memohon untuk dinikahkan. Setiap pemohon harus diperiksa ihwal kebenaran nama orangtuanya, alamatnya, umurnya, pekerjaannya. Apabila orangtua pemohon sudah meninggal dunia, disebutkan tempat, umur, dan tanggal kematiannya. Termasuk pula, pemohon wajib menunjukkan acte van overlijden (surat keterangan kematian). Bagi yang hendak menikah “oentoek kedua kalinja, haroeslah diminta soerat tjerai jang berhoeboengan”
.
Perjuangan cinta Lian dan Sen terekam dalam arsip kependudukan Kutaraja periode 1947-1950. Arsip itu sekarang tersimpan di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, dengan nomor AC01-162/10-1621. Hanya saja, arsip tersebut tidak menyebutkan bagaimana kelanjutan hubungan Lian dan Sen usai pendaftaran pernikahan mereka ditolak oleh pemerintah kota.
Mungkin saja Sen akhirnya menempuh jalur pengadilan; mungkin ia berhasil menikahi Lian karena akhirnya mendapat restu sang ibu; mungkin juga mereka memutuskan berpisah; atau bisa jadi keduanya memutuskan menikah menurut “adat istiadat Tionghoa” dan tinggal bersama sebagai pasangan “tidak resmi”.
Setidaknya dalam periode 1947-1950, ada ratusan pasangan Tionghoa di Kutaraja yang dilaporkan tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan yang sah menurut hukum negara. Otoritas kependudukan Kutaraja kemudian mencatat anak-anak yang lahir dari pasangan tersebut sebagai “anak di luar nikah”.[]