Jika di Pidie penduduk dipaksa menanam pohon kapas oleh militer Jepang, warga Aceh Timur dipaksa menambang minyak.

Riwayat Tambang Minyak di Aceh Timur: Dari Era Belanda, Jepang, hingga Indonesia

Ahli pengoboran asal Belanda berdiri di samping mesin penyedot minyak di kawasan Peureulak, Aceh Timur, sekitar tahun 1920-an.| Foto: Arsip KITLV Belanda

PINTOE.CO - Sebuah video di media sosial memperlihatkan terbakarnya sebuah tambang minyak ilegal di Gampong Alue Canang, Birem Bayeun, Aceh Tiimur. Kobaran api raksasa tampak menjulang ke udara.

Jika hitungannya cuma manusia, tidak ada korban tewas dalam peristiwa yang terjadi pada 30 Mei 2024 itu. Tetapi, kebakaran besar tersebut telah memanggang banyak pohon dan mungkin binatang-binatang kecil di sekitar. Foto-foto jurnalisme warga memperlihatkan tanaman-tanaman yang telah diperun kulambai alias dilalap api.

Plt Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Fadmi Ridwan mengatakan ledakan sumur minyak di Gampong Alue Canang itu menghanguskan sekitar 1 hektare lahan. Dampak material lainnya masih dalam pendataan.

Aceh Timur memang dikenal sebagai tempat banyaknya sumur minyak milik rakyat. Sumur-sumur minyak itu dibuka sendiri oleh warga dan dikelola dengan pengetahuan seadanya serta teknologi yang dirakit sendiri. Sejarah tambang dan penambangan minyak secara swadaya di kabupaten ini cukup panjang, membentang dari era kolonialisme Belanda sampai sekarang.


Salah satu sumur minyak diperkirakan di kawasan Rantau Peureulak Aceh Timur sekarang, 1916. | Foto: Arsip KITLV BelandaSalah satu sumur minyak diperkirakan di kawasan Rantau Peureulak Aceh Timur sekarang, 1916. | Foto: Arsip KITLV Belanda

Minyak Aceh Timur Era Belanda

Dalam buku 'Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje (1985)', Paul van ‘t Veer mengulas sejarah tambang minyak Aceh Timur dalam bagian berjudul “Minyak di Tanah Perlak”. Bagian ini menjelaskan sejarah awal eksploitasi sumur minyak di Aceh Timur.

Tahun 1883, seorang pengusaha tembakau dari Langkat mendapat informasi dari penduduk Peureulak bahwa di daerah mereka minyak tanah muncrat dari bawah tanah begitu saja. Si pengusaha lantas memperoleh izin membuka tambang dari Sultan Peureulak. Pada 1895, Sultan memberikan konsesi kepada Holland-Perlak Petroleum Maatschappij (Perusahaan Minyak Tanah Holland-Perlak). Selama masa Belanda, banyak dinamika terjadi dalam eksplorasi minyak di Aceh Timur.

Minyak Aceh Timur Era Jepang

Ketika Jepang masuk pada 1942,  babak baru penambangan minyak dimulai. Jika di Pidie penduduk dipaksa menanam pohon kapas oleh militer Jepang, warga Aceh Timur dipaksa menambang minyak. Jepang berhasil membuka ratusan kilang minyak hanya dalam dua tahun. Kendati kilang minyak sudah ratusan jumlahnya, penduduk tetap kesulitan memperoleh minyak tanah.

Tim penulis buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1991) menyebutkan, minyak yang dihasilkan dari penambangan lebih banyak digunakan untuk kebutuhan militer, bukan rakyat banyak. Tanpa minyak lampu, penduduk sukar membuat penerangan pada malam hari.

“Pendidikan agama di rumah tangga amat lesu. Pendidikan agama di meunasah-meunasah kampung, masjid-masjid, juga amat sulit karena sukarnya mendapat minyak lampu. Sebagian dari dayah-dayah seluruh Aceh menjadi sepi. Malam ada sebagian yang kosong,” tulis Muhammad Ibrahim dan kawan-kawan.


Era Bergabung dengan Indonesia

Pascakapitulasi Jepang, dan Aceh menjadi bagian dari Indonesia, sumur-sumur minyak itu dikelola militer melalui institusi bernama “Tambang Minjak N.R.I. Daerah Atjeh”. Pada era ini, manajemen tambang tidak tertata baik. Bahkan, beberapa arsip menyebutkan nepotisme tumbuh subur di tambang. Tentara memasukkan anggota-anggota keluarganya yang tak punya keahlian administrasi pertambangan atau perminyakan.

Semua tambang minyak kelak dinasionalisasi, resmi jadi punya negara, tetapi pada masa Orde Baru (1970-an) sempat dikelola oleh beberapa perusahaan asal Amerika. Singkat cerita, ladang minyak di Aceh Timur akhirnya sepenuhnya digarap oleh Pertamina. Dimulai dari sini, petaka ledakan sumur minyak terjadi secara berulang.

Pada 28 November 1997, Desa Dalam di Kecamatan Karang Baru, Aceh Timur lenyap akibat ledakan sumur minyak milik Pertamina. Rumah-rumah hancur ditimpa gelembung-gelembung lumpur bercampur minyak dan gas yang muncrat dari bawah tanah. Sebanyak 1.655 jiwa harus mengungsi. Menurut Ir. Ambar Sudiono (Kepala Operasi Eksplorasi dan Produksi Pertamina Rantau Kuala Simpang), ledakan di sumur minyak nomor 43 dan 54 di luar perkiraan. Pihak Pertamina sudah mengebor sebanyak 54 sumur di sekitar lokasi ledakan dan semuanya berbasis “riset yang matang” (Ummat , 15 Desember 1997).

Keberadaan Pertamina juga tak menyejahterakan penduduk setempat. Warga tetap miskin biarpun tanah-tanah di kampung mereka menghasilkan minyak bagi negara. Berbekal pengetahuan yang ada, warga kemudian membuka tambang secara mandiri. Mereka menggali sumur minyak di halaman rumah atau kebun sendiri. Petaka pun semakin banyak terjadi.

Tanggal 25 April 2018, terjadi ledakan hebat di tambang minyak rakyat di Desa Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak. Sebanyak 22 orang tewas.

Pada 11 Maret 2022, peristiwa serupa terjadi lagi di kecamatan yang sama, tetapi kali ini di Desa Mata Ie. Jumlah korban tewas tiga orang.

Begitulah riyawat pertambangan minyak Aceh Timur dari era penjajahan Belanda, Jepang, hingga setelah bergabung dengan Indonesia.[]

minyakacehtimur pertambanganrakyat sejarahtambangminyakaceh pintoe sejarahaceh