Pejuang Aceh Menolak Cukur Berewok
Badannya tinggi-besar. Nyaris seluruh kepalanya terbungkus bulu. Gatot dan Suroso ketakutan.
Abdullah Hussain setelah cukuran | Sumber: buku "Peristiwa Kemerdekan di Aceh" (1990).
PINTOE.CO - Pertengahan Desember 1945, bala tentara Jepang bertolak dari Sumatra Utara ke Langsa. Mereka datang untuk merebut kembali ratusan pucuk senjata Jepang yang sebelumnya dirampas para pejuang setempat. Operasi militer ini membuat rakyat dongkol. Jenderal Sawamura beserta prajuritnya didesak cepat-cepat angkat kaki dari Langsa.
Di samping menggunakan senjata api, beberapa pejuang di Langsa juga mengadakan protes yang unik. Mereka sepakat menumbuhkan berewok sebagai simbol perlawanan. Mereka berjanji tak akan mencukur sehelai bulu pun kalau belum berhasil mengalahkan tentara Jepang. Ikrar menolak cukuran ini diprakarsai oleh empat pemimpin perjuangan di kota Langsa.
“Sebagai protes adanya Tentara Jepang di bumi Aceh, Dokter Bagiastra, Karim Duriat, Abdoessoeki, dan aku telah membuat ikrar untuk tidak mencukur rambut dan jambang. Maka mulai saat itu kami pun membiarkan rambut, janggut, dan misai tumbuh semaunya. Mula-mula geli juga, tetapi lama-kelamaan menjadi biasa,” kata Abdullah Hussain dalam memoar Peristiwa Kemerdekaan di Aceh (1990).
Ide menolak cukuran itu sebetulnya datang dari I Made Bagiastra, dokter asal Bali yang lama bertugas di Aceh. Abdullah Hussain, yang waktu itu menjabat Kepala Polisi Langsa sekaligus Wedana Langsa, tertarik ikut menumbuhkan berewok. Melihat pemimpin mereka begitu, rakyat Langsa pun meniru. Para pegawai kereta api ikut-ikutan.
Tujuan lain memanjangkan jenggot serta mempertebal berewok adalah biar terlihat sangar. Dalam memerangi tentara Jepang, orang Langsa menganggap penting punya penampilan seram atau intimidatif. Semakin wajah tertutupi berewok, semakin garang.
“Yang paling hebat ialah Dokter Bagiastra. Janggut dan jambangnya begitu lebat sehingga yang kelihatan hanya mulut, hidung, mata, dan dahinya saja,” kata Abdullah Hussain, yang kelak mendapat julukan “wedana janggut”.
Bukan cuma tentara Jepang, penampilan mereka juga membuat bergidik pejuang Indonesia lainnya. Gatot Iskandar dan Suroso Prawirodirdjo, dua pemuda asal Jawa, berangkat ke Langsa untuk misi menyiarkan berita kemerdekaan Indonesia. Setibanya di Langsa, mereka pergi ke rumah Dokter Bagiastra.
Setelah bermenit-menit mengetuk pintu rumah, sesosok laki-laki berperawakan seram muncul. Badannya tinggi-besar. Nyaris seluruh kepalanya terbungkus bulu. Gatot dan Suroso ketakutan.
Biarpun terlihat seram, kenyataannya Bagiastra adalah dokter yang amat ramah dengan sesama pejuang kemerdekaan. Ia mempersilakan Gatot dan Suroso masuk, makan, dan tidur di rumahnya. Keesokan pagi, Dokter Bagiastra membawa Gatot dan Suroso ke rumah Abdullah Hussain.
Di halaman rumah Abdullah Hussain, mereka disambut seorang pemuda berambut serta berjenggot panjang. Sebentar kemudian, Abdullah Hussain pun datang menyapa. Mulanya, Gatot dan Suroso terheran-heran melihat banyak orang Langsa tampak seperti singa jantan.
“Setelah beberapa hari kami di situ, barulah kami tahu mengapa empat orang pertama yang kami temui di kota kecil itu memelihara berewok,” kata Gatot dan Suroso, sebagaimana dikisahkan Hadjana HP dan Djoko Dwinanto dalam Kurir-Kurir Kemerdekaan: Kisah Nyata Pemuda Pembawa Berita Proklamasi 1945 (2001).
Tadinya, Dokter Bagiastra dan kawan-kawan hendak cukuran usai pasukan Jepang meninggalkan Aceh. Namun, mereka membatalkannya lantaran tentara Belanda datang lagi ke Aceh untuk menentang kemerdekaan Indonesia. Mereka sepakat bercukur setelah penjajahan betul-betul tamat dan Indonesia bisa merdeka penuh.
Dalam perjalanan waktu, orang yang betul-betul berkomitmen dengan ikrar tersebut hanyalah Dokter Bagiastra. Kawan-kawan Dokter Bagiastra memilih merapikan penampilan mereka usai menerima tugas ke luar daerah.
“Pak Karim telah mencukur rambut, janggut, dan kumisnya ketika ia pergi menghadiri sidang Dewan Perwakilan Rakyat di Bukittinggi. Aku mencukurnya ketika mau berangkat ke Pulau Penang. Tuan Abdoessoeki kemudian mengikut setelah melihat Pak Karim dan aku sudah tidak berjanggut lagi,” tulis Abdullah Hussain.
Meskipun cukuran ketika tentara penjajah masih ada di Aceh, orang-orang Langsa tetap melanjutkan perlawanannya.[]