Pembukaan PON di Medan, Pertumpahan Darah di Aceh
Ratusan orang Aceh lari ke Medan sebelum maupun setelah pembukaan PON ke-III oleh Presiden Sukarno.
Presiden Sukarno membuka PON ke-III tahun 1953 di Kota Medan | Sumber: Perpusnas
Balon warna-warni dan aneka poster mulai menghiasi Kota Medan pada pertengahan bulan September 1953. Poster-poster yang ditempel di banyak tempat memuat informasi bahwa Medan akan menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-III. Disebutkan pula Presiden Sukarno akan datang ke Medan untuk membuka PON pada 20 September 1953. Inilah PON pertama yang diselenggarakan di luar Jawa.
Berbagai persiapan dilakukan. Selain balon dan poster, pasar-pasar malam dibuat agar kota makin semarak. Para pedagang kecil ambil tempat. Atlet tuan rumah dan daerah-daerah lain tampak sibuk berlatih. Para penonton dari Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi berdatangan. Medan begitu ramai dan meriah.
Pada Minggu pagi, 20 September 1953, orang-orang berkumpul di Stadion Teladan Medan, tempat Presiden Sukarno akan membuka PON 1953. Surat kabar Indonesia Raya memberitakan, sekitar 50 ribu orang memenuhi stadion.
“Sejak dari pagi telah berkumpul berpuluh-puluh ribu manusia yang datang berduyun-duyun ke lapangan tersebut. Ketika upacara pembukaan dimulai, tidak kurang dari 50.000 orang yang hadir di dalam stadion. Di luar stadion terdapat lebih-kurang 20.000 orang yang berkumpul-kumpul untuk mendengar perjalanan upacara lewat alat-alat pengeras suara,” sebut Indonesia Raya edisi 21 September 1953.
Setelah Sukarno berpidato dan bendera PON 1953 dikibarkan, meriam didentumkan sebanyak tiga belas kali. Disusul pelepasan puluhan burung merpati serta balon warna-warni ke udara. Atraksi ini merupakan tanda dimulainya PON yang akan berlangsung dari 20 hingga 27 September 1953, diikuti 13 provinsi dengan total 2.226 atlet. Sebanyak 356 di antaranya adalah atlet perempuan.
Kemeriahan acara pembukaan serta pengibaran bendera PON di Stadion Teladan Medan, 20 September 1953 (Arsip Perpusnas)
Ketika ribuan orang di Medan bersuka cita merayakan PON 1953, ribuan orang di Aceh berkumpul dengan senapan dan parang di tangan. Pemandangan mencolok terlihat di Lhokseumawe, persisnya Cunda.
Cunda adalah sebuah kawasan perdagangan di dekat sungai. Dua buah jembatan menghubungkan wilayah ini dengan area perkotaan tempat toko-toko, perkantoran pemerintah, dan markas tentara berdiri. Ribuan orang sudah berkumpul di Cunda pada Minggu pagi, saat pembukaan PON tengah berlangsung di Medan. Mereka bersiap menyeberangi jembatan untuk menyerang asrama tentara Kie V BI-F yang dikomandani A. Simatupang.
Dalam laporan Memorandum tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII di Atjeh (1956), Komando Territorium I Bukit Barisan menyebutkan bahwa kerumunan di Cunda dipimpin oleh Husin Jusuf. Husin Jusuf mendesak Simatupang agar menyerahkan semua senjata yang ada di asramanya. Namun, Simatupang mengabaikan tuntutan ini lalu memerintahkan semua anak buahnya bersiap.
Pada tengah malam, tentara yang berjaga melihat ribuan orang berlarian ke arah asrama mereka. Sebagian menyerang dengan senjata api, kebanyakan nekat menyerbu hanya dengan rencong, parang, dan pedang. Keheningan pun pecah. Perang meletus. Para penyerbu yang jumlahnya empat kali lebih banyak segera mengepung asrama. Tentara terpaksa melepaskan tembakan, termasuk ke arah anak-anak sekolah yang ikut menyerbu.
“Gerombolan ada yang berpakaian seragam kuning atau hitam, dan ada pula berpakaian sarung biasa. Biarpun pihak tentara berkali-kali menyuruh mereka mundur, mereka menyerbu terus sambil memekikkan supaya tentara di asrama tersebut menyerahkan senjatanya. Karena mereka terus menyerbu asrama, maka pihak tentara melepaskan tembakan-tembakan sepanjang malam,” tulis koran Indonesia Raya edisi 26 September 1953.
Ketika para penyerang semakin mendekati asrama, Simatupang memerintahkan pasukannya untuk menerapkan strategi close combat dengan cara melempar sebanyak mungkin granat. Strategi ini membuat pertumpahan darah kian parah. Ratusan orang tewas. Mayat-mayat berserakan di sekitar asrama sampai ke tepi laut Lhokseumawe. Pertumpahan darah makin meluas ketika tentara menerapkan operasi uitvallen atau perontokan total dengan cara mengejar para penyerang sampai ke Cunda.
Koran Suara Merdeka edisi 26 September 1953 menerbitkan dua berita di halaman pertama yang menggambarkan betapa jauhnya perbedaan situasi Aceh dengan Medan. Di sudut kiri koran ada sebuah foto yang menampilkan suasana meriah di stadion tempat PON berlangsung. Para penonton memenuhi tribun, menyaksikan laju para atlet lomba lari 5.000 meter. Di samping foto itu, dimuat sebuah berita tentang anak-anak sekolah yang menyerbu asrama tentara di Lhokseumawe.
Suara Merdeka, 26 September 1953
Selain Lhokseumawe, perang juga meledak di tempat-tempat lain seperti Bireuen, Pidie, Peureulak, Idi, dan Seulimeum. Malam itu, saat PON baru dimulai di Medan, di Aceh justru meletus pemberontakan Darul Islam Aceh (DI/TII Aceh). Pemberontakan dimulai secara serentak di banyak tempat pada malam antara 20-21 September 1953 (kecuali di wilayah Aceh Timur yang sudah dimulai sejak 19 September). Target utamanya adalah merampas alat-alat senjata di markas polisi dan tentara.
Pertumpahan darah di Aceh diiringi pula dengan penangkapan-penangkapan. Perang belum genap satu minggu, 150 orang sudah ditangkap. Namun, angka ini segera naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu satu bulan. Pada 15 Oktober 1953, Indonesia Raya kembali memberitakan jumlah orang yang ditangkap militer atas instruksi Jaksa Agung. Kali ini, jumlahnya sudah mencapai 1.500 orang. Sebagian diringkus di Aceh, lainnya di Medan dan Palembang.
Dari hasil interogasi terhadap sejumlah tahanan, pihak militer memperoleh informasi bahwa mulanya pemberontakan hendak dilakukan secara serentak pada 10 September 1953, bertepatan dengan 1 Muharam atau Tahun Baru Islam. Namun, rencana tersebut digeser ke malam setelah pembukaan PON 1953 di Medan.
Pertimbangannya, tentara dan polisi di Aceh pasti banyak yang dikerahkan ke Medan untuk pengamanan PON. Sebagian tentara dari Aceh juga akan bertanding sebagai atlet PON. Situasi ini dipercaya bakal memudahkan serangan-serangan terhadap markas tentara dan polisi setempat.
M. Isa Sulaiman dalam Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan terhadap Tradisi (1997) menjelaskan bahwa perginya para petinggi militer Aceh ke Medan langsung dimanfaatkan para prajurit yang ingin membelot untuk membawa lari senjata dari markas mereka. Senjata-senjata tersebut kemudian diserahkan kepada kelompok pemberontak. Tindakan desersi ini direncanakan dengan serius dalam rapat-rapat rahasia prapemberontakan.
Banyak orang lari ke Medan setelah kelompok Darul Islam Aceh memulai perang. Namun menurut Dada Meuraxa, sudah ada ratusan orang Aceh yang mengungsi ke Medan sebelum pembukaan PON dan perang. Mereka berangkat dengan kapal dan mendarat di Pelabuhan Belawan (Atjeh 1000 Tahun dan Peristiwa Teungku Daud Beureueh, 1954).
Sejumlah koran juga memberitakan gelombang pengungsian dari Aceh yang tiba di Medan tiga hari sebelum PON dimulai. “Hari Jumat, 5 buah tongkang pengungsi yang ditunggu kedatangannya dari Aceh Timur telah tiba di Belawan, setelah 3 hari 3 malam berada di lautan dengan tidak makan,” ungkap koran Indonesia Raya pada 26 September 1953.
Ratusan pengungsi tersebut bercambur dengan ribuan orang dari berbagai pulau yang datang ke Medan untuk memeriahkan PON.
Para penonton maupun atlet dari Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan pulang ke kampung masing-masing usai PON berakhir pada 27 September 1953. Kecuali atlet asal Aceh. Anak-anak sekolah asal Aceh yang telah menyelesaikan tugas sebagai atlet PON tak bisa pulang karena perang. Sekolah-sekolah di Aceh juga banyak yang dibakar. Menurut koran Kedaulatan Rakjat edisi 6 Oktober 1953, hanya sebagian kecil siswa di Aceh yang masih masuk sekolah.
Lagi pula, tak ada kapal yang berani berlayar ke Aceh. Transportasi darat pun lumpuh. Pemberontak menebang pohon-pohon untuk merintangi jalan. Rel kereta api dibongkar di beberapa titik. Alhasil, anak-anak Aceh ini ditempatkan di penampungan sementara. Mereka dimasukkan ke sekolah-sekolah Medan supaya bisa tetap belajar. Jauh dari rumah, mereka mendengar kabar bahwa pertumpahan darah terus terjadi di Aceh.[]