Jika ditotal sejak dari 2020 hingga 2024, jumlah orang yang bunuh diri karena terlilit utang pinjol sebanyak 61 dengan 7 di antara mereka ialah balita. 

26 Orang Bunuh Diri karena Pinjol dan Judol Selama Tahun 2024

Ilustrasi (MI)

PINTOE.CO - Kematian tiga orang dalam satu keluarga di Ciputat--ayah, ibu, dan anak balita--pertengahan Desember 2024 meninggalkan duka mendalam dan mengirim pesan kuat kepada pemerintah dan masyarakat. Pesan itu ialah masalah pinjol (ilegal) tidak bisa diremehkan akibatnya jika sudah terjerat dalam. 

Kasus bunuh diri satu keluarga ini diduga karena terjerat utang pinjol bukan yang pertama. Sebelumnya, setidaknya ada tiga kasus keluarga bunuh diri dengan lima di antaranya balita dalam kurun empat tahun ke belakang. 

"Kematian satu keluarga dengan balitanya itu benar-benar menyayat hati sekaligus membuat geram. Betapa tidak berdayanya kita mengatasi masalah pinjol ilegal hingga anak balita yang tidak mengerti apa-apa, tidak berdosa menjadi korban," ujar Rahman Mangussara, Founder Center for Financial and Digital Literacy di Jakarta, Senin (30/12/2024). 

"Selalu diumumkan ribuan pinjol ilegal ditutup, tetapi ironinya pinjol ilegal selalu muncul dalam jumlah yang  lebih banyak. Jadi, masalahnya di mana? Di sisi lain, kasus yang terjerat utang pinjol juga tetap ada." 

Hingga 30 Desember, jumlah kasus bunuh diri karena pinjol mencapai 11 orang. Jika ditotal sejak dari 2020 hingga 2024, jumlah orang yang bunuh diri karena terlilit utang pinjol sebanyak 61 dengan tujuh di antara mereka ialah balita. 

Kasus mengakhiri hidup karena pinjol belum termasuk membunuh orang lain, menjual anak, merampok, dan korupsi yang jumlahnya juga banyak. Angka-angka ini berbicara lantang kepada kita semua bahwa ada yang mendesak diperbaiki dari cara pemerintah menangani pinjol dan literasi masyarakat.

"Mengubah nama dari pinjol menjadi pindar, boleh-boleh saja, tetapi itu tidak lebih dari hanya casing. Kurang memadai dan bahkan mungkin tidak berdampak apa-apa pada pemberantasan pinjol ilegal dan peningkatan literasi keuangan dan digital," tandas Rahman Mangussara. 

"Semua institusi yang terkait harus bekerja sama, tidak sendiri-sendiri. Fokuslah ke pencegahan berbasis keluarga di kelompok bawah yang mana paling rentan membutuhkan dana cepat," lanjut dia seperti dikutip dari Media Indonesia.

Tahun ini, jumlah kasus bunuh diri karena judi online sebanyak 15 orang dengan usia yang rata-rata muda. Umur termuda ialah 20 tahun. Total kasus bunuh diri sejak 2022 hingga 2024 sebanyak 26 orang. 

Gabungan antara jeratan utang pinjol dan kecanduan judi online sungguh mengerikan efeknya. Itu bisa menjerat nyaris semua golongan dan umur. 

Sama seperti pinjol, judol juga menyasar keluarga, sehingga tidak saja berdampak buruk pada perorangan, tetapi juga berakibat mengerikan kepada anggota yang lain. Itu pula penjelasan ada istri yang membunuh suami dan suami yang membunuh istri serta meningkatkan jumlah perceraian seperti diungkapkan Menteri Agama.

Memberantas judi online, dan juga pinjol, karena sifatnya yang menggunakan teknologi, mesti membutuhkan cara-cara kreatif dan terobosan yang tidak biasa. Jika tidak, kita masih akan melihat berita tentang orang, keluarga, dan anak-anak yang terjerat judol dan pinjol.

"Larang anak-anak sebelum kelas tiga SMP atau kelas 12 untuk memakai HP atau tidak membawa HP ke sekolah. Orangtua tidak memanjakan anak dengan main HP hanya karena orangtua tidak mau anaknya rewel."

Di abad 21, kecakapan dasar baca, tulis, dan hitung sudah tidak memadai lagi. Mesti segera ditambahkan kecakapan dasar digital, agar tidak buta huruf. Kalau tidak cakap digital, masyarakat akan mudah tersesat, menjadi korban kejahatan digital, polarisasi social, dan tentu saja tidak bisa memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan taraf hidup. 

"Buta huruf baca, tulis, dan menghitung sudah tidak ada lagi, tetapi buta huruf digital masih banyak. Itu pekerjaan rumah Kementerian Komunikasi dan Digital. Terlebih namanya sudah diganti," tegas Rahman Mangussara. 

Apalagi teknologi digital terus berkembang dengan kecepatan luar biasa yang menjungkirbalikkan semua aspek kehidupan kita. "Dulu kita diajarkan untuk percaya yang kita lihat sebagai fakta. Namun sekarang, di masa AI, yang kita lihat belum tentu fakta. Bisa jadi itu fiksi."

Jadi, menurut Center for Financial and Digital Literacy, penetrasi internet hingga ke pelosok terluar Indonesia ialah satu hal tetapi kecerdasan digital ialah hal lain lagi. Malah ketersediaan internet hingga daerah terluar bisa berdampak buruk jika masyarakat masih buta huruf digital.[]

pinjol