Sebanyak 568 Aduan Masuk ke DKPP dalam 10 Bulan Terakhir
Jumlah perkara bakal meningkat karena proses pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 masih berjalan.
Heddy Lugito (Antara)
PINTOE.CO - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP RI, Heddy Lugito, mengatakan pihaknya menerima 568 aduan tentang dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) sampai dengan Oktober 2024.
“Saya ingin sampaikan bahwa saat ini DKPP kebanjiran perkara. Jadi, selama 10 bulan terakhir ini mulai dari Januari sampai Oktober, perkara yang masuk terhitung sejak kemarin itu jumlahnya 568. Artinya sehari hampir dua, sehari kerja,” kata Heddy seperti dikutip dari Tempo pada Jumat 25 Oktober 2024.
Dia meminta para pelapor memaklumi hal itu. Menurut dia, DKPP tidak memiliki niat mengulur waktu, tetapi pihaknya memeriksa laporan sesuai dengan antrean yang masuk.
“Kita tidak bisa memprioritaskan perkara apa yang harus didahulukan, karena semua perkara jadi prioritas. Itulah yang terjadi di DKPP,” ujarnya.
Heddy memperkirakan jumlah perkara bakal meningkat karena proses pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 masih berjalan. DKPP mulai menerima aduan berbagai pelanggaran Pilkada Serentak 2024.
“Kemungkinan perkara yang tahun ini berkaitan dengan pileg (pemilu legislatif) dan pilpres (pemilu presiden) itu tidak tuntas di tahun ini. Sampai tahun depan kita masih menyediakan perkara yang berkaitan dengan tahapan pileg dan pilpres,” tutur Heddy.
Sebelumnya, Heddy mengatakan potensi peningkatan jumlah aduan selama tahapan pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 menjadi perhatian pihaknya.
“Pilkada tinggal dua bulan lagi. Perkiraan saya, dan berdasarkan pengalaman yang lalu, pengaduan pelanggaran etik saat pilkada jauh lebih banyak dari pemilu karena kedekatan antara penyelenggara dan peserta pemilu sangat dekat,” kata Heddy saat dikonfirmasi di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat, 27 September lalu.
Heddy menuturkan para peserta Pilkada 2024 diperkirakan sudah berhubungan erat dengan anggota dan ketua KPU maupun Bawaslu.
“Mereka juga pasti punya kerabat-kerabat di tingkat kecamatan, kelurahan, bahkan KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), dan itulah yang memungkinkan terjadi pelanggaran etik, bahkan pelanggaran administratif sampai pelanggaran pidana pemilu,” ujarnya.[]