Ketika ada orang Tionghoa di Aceh dijahati, para penjahatnya pasti dikejar sampai dapat.

Orang-Orang Tionghoa di Aceh: Merampok dan Dirampok

Laporan daftar orang-orang Tionghoa di Langsa yang diduga terlibat kejahatan | Sumber: DPKA

Orang-orang Tionghoa di Aceh selalu berada di dua sisi kejahatan. Sebagian dari mereka adalah penjahat, sebagian lainnya korban kejahatan. 

Selama Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1949), sejumlah orang Tionghoa di Aceh dilaporkan terlibat perampokan, pemerasan, penyeludupan, bahkan pemerkosaan. Para Tionghoa kriminalis ini bahkan tak ragu menjahati sesama orang Tionghoa.

Geram dijahati, orang-orang Tionghoa yang jadi korban lantas mengadu kepada pemerintah daerah. Mereka memberitahu nama lengkap, umur, tempat tinggal, hingga keberadaan terkini para kriminalis tersebut. Berdasarkan pengaduan inilah Gubernur Muda Sumatra Utara Mr. S. M. Amin bisa menyusun sebuah daftar nama penjahat dari kalangan orang Tionghoa.

Dalam dokumen itu terungkap bahwa penjahat Tionghoa di Kota Langsa sebetulnya pelarian dari Sumatra Utara. Mereka lari ke Aceh untuk menghindari perang serta penangkapan.

Seorang perempuan bernama Lioe Tjoi Haw (30 tahun) berasal dari Pangkalan Brandan. Ia dilaporkan terlibat kasus perampokan seperti Goh Poi Eng (perempuan 36 tahun) dari Pangkalan Susu. Keduanya sama-sama mengungsi ke Langsa. Ada pula satu kasus schaking, yakni menculik atau membawa lari perempuan. Kejahatan ini dilakukan Sim Gie Moi, seorang laki-laki paruh baya yang sebelum pindah ke Langsa berjualan minyak di Pangkalan Brandan.

Pada 3 Maret 1948, Gubernur Amin mengirim daftar tersebut kepada kejaksaan dan markas tentara di Banda Aceh. Harapannya, orang-orang yang namanya tercantum dalam dokumen segera diselidiki dan dihukum bila benar telah berbuat jahat (Arsip DPKA, nomor: 184.1).

Penghukuman terhadap mereka sangat diharapkan oleh kaum Tionghoa di Aceh. Warga Tionghoa yang aktif membantu perjuangan rakyat Aceh khawatir kejahatan yang dilakukan sekelumit kriminalis itu bisa merusak hubungan baik antara orang Tionghoa dengan orang Aceh. Apalagi ternyata para kriminalis itu berasal dari daerah lain, bukan penduduk “asli” Aceh.

Oleh karena para pedagang Tionghoa membantu perjuangan rakyat Aceh, pemerintah daerah cukup peduli dengan keselamatan mereka. Bahkan pada masa tersebut, serangan terhadap warga Tionghoa bisa ditafsirkan sebagai tindakan yang menodai perjuangan bersama melawan penjajahan. Oleh karenanya, ketika ada orang Tionghoa dijahati, para penjahatnya pasti dikejar sampai dapat.

Kenyataan itu bisa dilihat dalam kasus perampokan di Kampung Keudah, Banda Aceh. Sekelompok orang berseragam TNI dan membawa senapan merampok pabrik rokok milik seorang pebisnis Tionghoa di kampung itu. Mereka merampas uang tunai sambil mengancam pemilik pabrik serta pekerja. Mereka ditangkap pada 9 September 1947.

“Komplotan perampok yang pekerjaannya sangat menodai Pemerintah Republik Indonesia dibekuk di Banda Aceh,” sebut Teuku Alibasjah Talsya dalam Modal Perjuangan Kemerdekaan (1990).

Para komandan militer di Aceh melindungi orang-orang Tionghoa dari kejahatan, termasuk kejahatan yang dilakukan oleh prajuritnya sendiri.

tionghoa aceh perang kemerdekaan di aceh sejarah aceh