Tentara Jepang di Banda Aceh Tertabrak Delman
Mulanya marah-marah, prajurit Jepang itu langsung ketakutan setelah mengetahui siapa orang yang ia bentak.
Abdullah Sani | Sumber: Amran Zamzami (Jihad Akbar di Medan Area, 1990)
Warga Banda Aceh mulai berani membentak para prajurit Jepang usai mengetahui Jepang sudah kalah dalam Perang Dunia II. Alhasil, hampir setiap hari terjadi pertengkaran antara orang Aceh dengan orang Jepang. Pemicunya macam-macam. Bahkan hal sepele pun bisa jadi perkelahian serius.
Demi menghindari keributan, para komandan militer Jepang kemudian mengumpulkan semua prajuritnya di markas masing-masing. Penarikan ini membuat tentara Jepang mulai jarang terlihat di jalanan kota. Hanya satu-dua prajurit yang diizinkan keluar markas untuk belanja di pasar.
Hari Sabtu, 1 September 1945, seorang prajurit Jepang di Banda Aceh ditugaskan komandannya pergi ke Pasar Aceh untuk membeli sejumlah barang atau kebutuhan. Ia berangkat seorang diri dengan sepeda. Setelah barang-barang terbeli, segera ia berangkat pulang ke markas.
Di Jalan Pintu Kecil (sekarang Jalan Tengku Chik Pante Kulu), si prajurit Jepang berpapasan dengan sebuah delman yang tengah membawa penumpang. Tak disangka, sepedanya terserempet oleh delman tersebut. Barang-barang belanjaannya tumpah berserakan di jalan. Sementara badannya tertindih sepeda.
“Orang Jepang itu sangat marah. Ia menyingkirkan sepeda yang sedang menghimpitnya lalu bangkit berdiri. Sais yang masih terpaku memegang tali kekang kuda dibentaknya bertubi-tubi,” kata Teuku Alibasjah Talsya dalam Batu Karang di Tengah Lautan (1990).
Marah melihat kusirnya dibentak dan disuruh memungut barang belanjaan, si penumpang delman pun turun. Badannya besar, mirip orang Belanda. Ia mendekati prajurit yang tengah naik pitam itu lalu memberitahu identitasnya dengan teriakan dalam bahasa Jepang: Watakushi wa Keimubutyo Indonesia!
Sontak prajurit Jepang itu terdiam. Ia kini tahu bahwa penumpang delman yang turut ia bentak adalah seorang pejabat kepolisian Indonesia di daerah Aceh.
Si penumpang itu ternyata Teuku Abdullah Sani, seorang Keishi (Komisaris Polisi) dari Kantor Polisi Besar di Aceh. Waktu itu, ia memakai seragam lengkap dengan senjata serta atribut penanda pangkat. Prajurit Jepang itu cepat-cepat memberi hormat kepada Abdullah Sani, lalu mundur selangkah demi selangkah, memperlihatkan rasa takutnya.
Kelak di kalangan tentara Jepang, Abdullah Sani dikenal pula sebagai salah satu tokoh yang pernah berani menurunkan bendera Jepang untuk diganti dengan bendera Merah Putih.
Usai situasi reda, Abdullah Sani langsung melanjutkan perjalanan ke kantor dengan delman. Sementara si prajurit Jepang memungut sendiri barang belanjaannya yang tercecer di jalan.[]