Kaum perempuan Aceh turut memasok rokok kepada para laki-laki yang sedang bertempur melawan penjajah.

Pejuang Aceh Isap Rokok di Medan Perang

Arsip pembagian rokok kepada para tokoh agama di Lhoknga | Sumber: Bisma Yadhi Putra/Pintoe.co

Para pejabat di Aceh sudah sejak lama menggunakan rokok untuk membangun kedekatan dengan tokoh-tokoh agama. Program bagi-bagi rokok untuk para agamawan setidaknya sudah ada semasa 1950-an, misalnya yang dilakukan di Lhoknga, Aceh Besar.

Pada 7 Agustus 1950, Tengku Muhammad Gading, Kepala Kantor Urusan Agama Lhoknga, mengeluarkan suatu dokumen yang tak biasa. Dokumen itu diberi judul: “Daftar: Untuk membeli rokok untuk Tgk2. Meunasah dan Imeum Meusjid dalam Kenegerian Lho’nga”.

Dalam dokumen itu tercantum 31 nama pemuka agama yang masing-masing akan menerima “bantuan” 10 bungkus rokok. Mereka adalah 5 orang imam masjid dan 26 imam meunasah. Pemerintah daerah harus menyediakan total 310 bungkus rokok untuk mereka, yang menelan anggaran sebesar f527.

Memberi rokok dipandang sebagai suatu bentuk kepedulian yang nyata kepada pihak-pihak yang dianggap berjasa. Jejak bagi-bagi rokok untuk menghargai jasa orang lain juga bisa ditelusuri di masa Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Orang-orang Aceh yang tak ikut angkat senjata ambil peran sebagai penyumbang rokok bagi para prajurit yang tengah bertempur.

Dalam Sekali Republiken Tetap Republiken (1990), Teuku Alibasjah Talsya mengisahkan bahwa suatu ketika Resimen VI Disivi X di Kutacane kedatangan bantuan logistik dalam jumlah besar. Menggunakan seratus gerobak yang ditarik lembu, rakyat Kutacane membawa 8.243 kilogram beras, buah-buahan, sambal, rendang, telur, dan rokok.

Kaum perempuan ikut pula dalam kegiatan memasok rokok ke medan perang. Bantuan dari garis belakang ini diprakarsai Cut Anjong, istri Letkol Teuku Cut Rachman. Bersama teman-temannya, Cut Anjong berkali-kali mengirim makanan dan rokok kepada prajurit yang lagi kelaparan serta ketagihan merokok. 

Selagi pertempuran berkobar di Sumatra Utara, komando militer di Aceh memandang perlunya penambahan pasukan untuk membantu perjuangan di daerah tetangga. Anak-anak muda Aceh diajak bergabung dalam angkatan perang dan dijanjikan akan memperoleh makanan serta “uang belanja rokok”. 

Janji tersebut diumumkan oleh Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kolonel Sjamaun Gaharu pada 3 Desember 1945. Uang rokok yang bakal dibagikan kepada masing-masing prajurit baru sebesar f20. Program ini secara tidak langsung mendorong lahirnya para perokok pemula. Pasalnya, salah satu syarat lain bergabung menjadi prajurit adalah minimal sudah bersekolah sampai kelas satu SMP (Talsya, Batu Karang di Tengah Lautan, 1990).

Sebelum rekrutmen tersebut dibuka, di Aceh baru saja dimulai upaya mengontrol peredaran rokok agar tak bisa dibeli sembarangan. Akan tetapi demi melancarkan urusan perang, komando militer di Aceh mengabaikan fakta bahwa prajurit-prajurit baru yang akan menerima uang jatah rokok adalah anak-anak yang baru lulus sekolah dasar.

Banyak remaja Aceh akhirnya menjadi perokok berat setelah bergabung dalam barisan ketentaraan. Salah satu yang berani mengaku secara terang-terangan tentang hal itu adalah Amran Zamzami, anak muda asal Aceh Selatan yang terjun dalam perang di Medan Area. 

Seperti kebanyakan prajurit, Amran Zamzami tak bisa jauh dari rokok selama bertempur. Biasanya mereka mengisap Rokok Cap Ikan Mas yang waktu itu amat populer di Binjai dan sekitarnya. Ketika stok rokok di kalangan prajurit menipis, mereka terpaksa mengisap rokok tersisa secara bergantian. 

“Rokok sebatang dapat maraton dari mulut ke mulut sampai kepulan asap terakhir,” tulis Amran Zamzami dalam autobiografi Jihad Akbar di Medan Area (1990).

Amran Zamzami dan kawan-kawannya pernah mendapat stok rokok melimpah ketika berhasil menguasai pos pasukan Belanda. Rokok-rokok yang ditinggal prajurit penjajah pasti diambil karena sama pentingnya seperti obat-obatan, gula, peluru, dan pakaian.

Setelah perang, Amran Zamzami melanjutkan sekolah di SMP. Kebiasaan merokok di medan perang berlanjut di bangku sekolah. Di jam belajar, ia sering pamit ke kamar mandi dengan dalih mau kencing, padahal ingin merokok. Amran Zamzami selalu bawa rokok ke sekolah.

“Kepalaku memang menolak masuknya pelajaran. Tidak jarang di tengah pelajaran aku meminta izin ke kamar kecil dengan alasan buang hajat, padahal sesungguhnya ingin melampiaskan kerinduan pada isapan rokok. Berlama-lama ku nikmati asap tembakau di kamar kecil, tak peduli dengan pelajaran,” ungkap Amran Zamzami.

Dalam kegiatan sehari-hari, para petinggi militer di Aceh memang gemar membagi-bagikan rokok kepada prajurit mereka yang tengah bertugas, terutama bagi para prajurit piket malam. Salah satu pemimpin tentara yang terkenal suka bagi-bagi rokok adalah Tengku Amir Husin Al Mudjahid. Dia yakin rokok bisa membuat anak-anak buahnya tidak kedinginan saat berjaga di tengah malam.

Pengumuman rekrutmen prajurit baru di Aceh dengan iming-iming akan memperoleh uang belanja rokok (Sumber: Talsya, 1990).[]

sejarah rokok di aceh perang kemerdekaan di aceh amran zamzami teuku alibasjah talsya perokok aceh bagi-bagi rokok di aceh