Korupsi Rp15,39 Miliar di BRA, Kemana Dana Bantuan Korban Konflik Mengalir?
Fakta-fakta yang terungkap dalam penyelidikan menunjukkan bahwa sembilan kelompok penerima manfaat yang dijanjikan tidak pernah menerima bibit ikan kakap dan pakan rucah yang menjadi inti program tersebut.

Tersangka dugaan tindak pidana korupsi pengadaan budi daya ikan kakap dan pakan runcah mengenakan rompi di Kantor Kejati Aceh di Banda Aceh, Selasa (15/10/2024) I Foto: ANTARA
PINTOE.CO - Kasus korupsi dana bantuan untuk korban konflik Aceh Timur senilai Rp15,39 miliar, yang menyeret mantan Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Suhendri, bersama lima terdakwa lainnya, menjadi sorotan masyarakat Aceh.
Sidang pertama kasus ini digelar pada Jumat, 8 November 2024 lalu, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh.
Ironisnya, dana yang seharusnya menjadi harapan bagi korban konflik di Aceh Timur justru diduga dikorupsi.
Fakta-fakta yang terungkap dalam penyelidikan menunjukkan bahwa sembilan kelompok penerima manfaat yang dijanjikan tidak pernah menerima bibit ikan kakap dan pakan rucah yang menjadi inti program tersebut.
Tidak ada pula bukti serah terima barang yang sah, menguatkan dugaan bahwa pengadaan itu fiktif.
Dalam sidang itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkap indikasi proyek fiktif dalam pengadaan bibit ikan kakap dan pakan rucah senilai Rp15,7 miliar, yang didanai melalui APBA Perubahan 2023.
"Sembilan kelompok penerima manfaat itu direkayasa termasuk surat-surat. Mereka tidak pernah mengajukan dan menandatangani pengajuan. Proses evaluasi dan monitoring hibah kepada semua anggota kelompok adalah palsu," kata JPU dalam persidangan.
Humas Kejaksaan Tinggi Aceh, Ali Rasab Lubis, menegaskan pentingnya sidang ini untuk mengungkap aktor-aktor di balik penyalahgunaan dana publik.
“Kami telah memulai proses hukum untuk memastikan keadilan ditegakkan,” katanya.
Selain Suhendri, lima orang lainnya juga didakwa terkait kasus ini. Zulfikar, selaku Koordinator/Penghubung Ketua BRA, didakwa bersama Suhendri dalam satu berkas perkara.
Sementara itu, empat terdakwa lainnya, yakni Muhammad selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Mahdi selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Zamzami yang meminjam perusahaan untuk pelaksanaan pengadaan budi daya ikan kakap dan pakan rucah, serta Hamdani selaku koordinator atau penghubung rekanan penyedia.
BRA yang didirikan sebagai wujud komitmen terhadap perdamaian dan reintegrasi sosial pascakonflik, kini menghadapi kasus dugaan penyalahgunaan dana publik.
Akademisi Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya, menyebut kasus ini menunjukkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan bantuan.
“BRA seharusnya menjadi lembaga yang menyejahterakan korban konflik. Tapi ketika pengurusnya memiliki afiliasi politik yang kuat, bantuan menjadi rentan dipolitisasi,” ujar Kemal.
Ia juga mengatakan mekanisme distribusi bantuan yang tidak transparan dan membuka peluang perilaku korupsi.
Lembaga Antirasuah GeRAK Aceh juga mendesak Kejaksaan Tinggi untuk mengusut tuntas dugaan keterlibatan pihak-pihak lain di luar enam terdakwa.
“Jumlah anggaran sebesar (Rp 15,7 miliar) ini terlalu besar untuk hanya dinikmati oleh enam orang,” kata Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani.
Dokomentasi foto usai Zamzami (kanan) menyerahkan uang proyek bibit ikan untuk korban konflik yang tak pernah disalurkan kepada penerima oleh Suhendri (kiri). | Foto: Ist
Pentingnya Transparansi
Selain itu Koordinator MaTA, Alfian, menekankan pentingnya persidangan untuk mengungkap aliran dana yang mungkin melibatkan pihak lain.
“Proses hukum harus membuka fakta-fakta di pengadilan agar tidak ada yang ditutupi,” ujarnya.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi upaya reintegrasi dan rekonsiliasi di Aceh.
Dana yang diklaim untuk meringankan korban konflik justru diduga dijadikan ladang korupsi.
Publik menunggu apakah keadilan dapat benar-benar ditegakkan, atau jika kasus ini akan berakhir seperti banyak skandal lainnya, menguap tanpa jawaban.
"Kita berharap penyidik bisa melakukan pengembangan untuk memastikan siapa saja penerima aliran dana terkait kasus ini," kata Alfian pada Selasa, 15 Oktober 2024.
Apalagi, kata Alfian, kasus tindak pidana korupsi dalam proyek fiktif yang dikelola oleh BRA telah menjadi sorotan masyarakat.
"Tentu, kita mendukung penuh langkah penegakan hukum yang sedang berlangsung atas tindak pidana korupsi di BRA oleh Kejari Aceh, penegakan hukum menjadi penting demi rasa keadilan publik dan kepastian hukum," pungkasnya.
Dalam debat publik kedua calon gubernur Aceh nomor urut 2 Muzakir Manaf atau yang dikenal Mualem, ditanya oleh cawagub Paslon nomor urut 01 Teungku Fadhil Rahmi: sejauh mana tanggung jawab Mualem terhadap penyimpangan anggaran publik di BRA. Pertanyaan itu diajukan lantaran berdasarkan peraturan daerah (di Aceh disebut qanun), Mualem selaku ketua Komite Peralihan Aceh (wadah mantan GAM) adalah orang yang diberi hak untuk menunjuk Ketua BRA sebelum dilantik oleh Gubernur Aceh.
Menjawab pertanyaan itu, Mualem mengakui ada rencana mengambil sedikit uang dari BRA, namun akhirnya ketahuan.
“Na bacut keneuk cok, cok kombatan, ka idrop barosa (Ada sedikit [anggarannya] mau diambil untuk kombatan, sudah ditangkap kemarin),” ungkap Mualem, yang juga Ketua Partai Aceh.
Menurut GeRAK Aceh pernyataan Mualem itu dapat menjadi pijakan awal bagi Kejati Aceh untuk membuka kembali kasus-kasus korupsi, bisa mengindikasikan bahwa ada kemungkinan anggaran di BRA tidak sepenuhnya dikelola dengan benar.
Jika memang ada potensi penyalahgunaan anggaran di BRA, kata Askhalani, penting bagi Kejati Aceh untuk mengusut tuntas siapa saja yang terlibat dalam kasus proyek fiktif itu.
"Maka kita mendesak Kejati Aceh untuk membuka penyelidikan yang diduga memiliki keterkaitan dengan pengelolaan anggaran patut diselidiki lebih dalam," pungkasnya.
Yang tak kalah penting, jaksa perlu menelusuri kemana aliran dana disetor setelah Suhendri menerima uang cash Rp15 miliar dari Zamzami, kontraktor yang membuat 9 perusahaan untuk dipinjamkan kepada Suhendri. Hingga kini, jaksa belum pernah menyatakan uang tersebut disita sebagai barang bukti. Sebab, beredar sinyalemen, uang tersebut mengalir ke orang yang menunjuknya sebagai Ketua BRA. []