Pakar Hukum: Perlu Dikaji Ulang Usul Kemendagri Cabut Qanun KKR Aceh
Amrizal menjelaskan secara normatif Pasal 229 dan Pasal 300 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) menyatakan bahwa KKR Aceh adalah bagian dari KKR nasional.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Malikussaleh (Unimal), Amrizal J Prang I Foto: Humas Pemerintah Aceh
PINTOE.CO - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Malikussaleh (Unimal), Amrizal J Prang, menilai usulan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mencabut Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh perlu dipertimbangkan.
"Dasar pembatalan qanun yang digunakan Kemendagri diikat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006 juga aneh, kenapa pada tahun 2013 pada saat qanun ini ditetapkan," kata Amrizal J Prang, Rabu, 13 November 2024.
Amrizal menjelaskan secara normatif Pasal 229 dan Pasal 300 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) menyatakan bahwa KKR Aceh adalah bagian dari KKR nasional.
Meskipun Undang-Undang KKR nasional dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006, kata Amrizal, UUPA secara eksplisit memberikan dasar hukum bagi keberadaan KKR Aceh yang diatur lebih lanjut melalui qanun.
"Pencabutan Qanun KKR Aceh akan berdampak pada ketidakpastian hukum, khususnya terhadap keberlakuan Pasal 229 dan Pasal 300 UUPA yang menjamin keberadaan KKR Aceh," ujarnya.
Selain itu, menurut Amrizal, Kemendagri tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan qanun yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan gubernur.
Jika tidak dicabut, Amirizal menilai qanun tersebut tetap berlaku di Aceh. Namun, Kemendagri tidak mengakuinya.
"Sebaiknya jika dianggap tidak sesuai, Kemendagri menggugat qanun ini ke Mahkamah Agung (MA) untuk memastikan keabsahannya," ucapnya.
Amrizal mengingatkan pemerintah pusat untuk meninjau kembali sejarah lahirnya UUPA dan qanun KKR Aceh.
"Sehingga tidak semata-mata mengikuti perubahan peraturan yang berlaku di tingkat nasional tanpa mempertimbangkan konteks khusus Aceh," pungkasnya.[]
Editor: Lia Dali