Ketika Hasan Tiro Kalah Berkelahi
Sikap keras Hasan Tiro membuatnya dikeluarkan dari sekolah.

Hasan Tiro muda
Tahun 1944, militer Jepang di Aceh memaksa para pelajar di sekolah menengah bergotong royong menanam pohon-pohon kapas.
Para ahli pertanian Jepang berpendapat bahwa pohon kapas sebaiknya ditanam dalam musim hujan dan dipanen saat musim kemarau. Keberhasilan penanaman kapas sangat tergantung dengan waktu tanam yang tepat.
Pengetahuan itu kemudian disebarluaskan ke seluruh daerah yang diduduki militer Jepang, termasuk Aceh.
Kebijakan ini memicu perpecahan di Normal Islam Institute Bireuen, sebuah sekolah modern binaan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Di Bireuen, lahan tanam kapas berada di Kilometer 8 Jalan Bireuen-Takengon. Lokasinya dalam kawasan Kampung Leubok Iboh. Sebagian besar siswa Normal Islam bersedia menanam kapas untuk Jepang. Sebagian besar lainnya menentang keras program tersebut. Kelompok yang pro-Jepang dipimpin Abdullah Thaib, sedangkan geng anti-Jepang dipimpin seorang siswa kritis bernama Hasan Tiro.
Dua kelompok besar yang berseteru ini cukup sering berdebat dan saling cela. Perseteruan akhirnya memuncak ketika terjadi perkelahian fisik Abdullah Thaib berkelahi dengan Hasan Tiro. Hanya saja, pertarungan ini tidak seimbang. Hasan Tiro dihajar Abdullah Thaib yang badannya lebih besar serta menguasai teknik bela diri gulat khas Pidie, yakni Geudeu-Geudeu. Hasan Tiro kalah.
Ayah Gani, guru sekaligus pengawas asrama putra di Normal Institute, melaporkan perkelahian itu kepada para petinggi PUSA, khususnya Daud Beureueh. Beberapa hari kemudian, rapat serius digelar untuk mendamaikan dua kelompok yang perseteruannya sudah bukan lagi sebatas adu pendapat.
Dalam biografi Ayah Gani: Ketua Dewan Revolusi DI/TII Aceh (2021), Ramly Ganie mengisahkan bahwa Hasan Tiro menolak berdamai dengan Abdullah Thaib. Sikap keras Hasan Tiro ini kemudian membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Keputusan ini dibuat sendiri oleh Daud Beureueh.
“Anak muda itu pulang ke kampungnya dan tumbuh menjadi seorang republiken muda yang antikolonial,” tulis Ramly Ganie.
Hanya saja, dewan guru tak tega melihat si cerdas Hasan Tiro terasing dari institusi pendidikan. Dari hasil musyawarah lanjutan, para guru Normal Islam sepakat mengirim Hasan Tiro ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi di sana. Selama di Yogyakarta, Hasan Tiro berada di bawah binaan Sjafruddin Prawiranegara, tokoh Masyumi yang ketika itu sedang menjabat Menteri Keuangan.
Sewaktu meletus pemberontakan DI/TII Aceh, Hasan Tiro juga pernah ditantang berkelahi oleh seorang ajudan Bung Tomo di Surabaya. Tantangan ini disampaikan dalam sebuah surat terbuka yang arsipnya kemudian disimpan Kementerian Penerangan RI.
Mungkin saja Hasan Tiro mengabaikan tantangan tersebut karena ia sadar tak akan selamat dalam perkelahian hidup-mati dengan seseorang yang berpengalaman banyak dalam perang gerilya.
Kelak, anak muda cerdas kelahiran 25 September 1925 itu "berkelahi" dengan Pemerintah Indonesia. Dia mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan memimpin perang gerilya hampir 30 tahun, sebelum akhirnya memilih berdamai pada 15 Agustus 2005.[]
Baca juga:
Sejarah Aceh 3 Juni: Berpulangnya Hasan Tiro, Lelaki yang Memprotes Jakarta Sejak Usia 29 Tahun