Interaksi Negatif Satwa Liar, WALHI Aceh: Perlu Pendekatan Kerja Sama Semua Pihak
Ia menekankan bahwa penyelesaian yang sedang berlangsung saat ini sering kali hanya berfokus pada satwa liar tanpa mempertimbangkan pentingnya keterlibatan dan kerja sama dari berbagai pihak untuk menemukan solusi yang efektif.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Ahmad Shalihin.
PINTOE.CO - Interaksi negatif antara manusia dan satwa liar kembali menjadi sorotan setelah seekor gajah liar memasuki pemukiman warga di Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Ahmad Shalihin, mengatakan bahwa penanganan interaksi negatifa atau konflik semacam ini tidak memiliki solusi permanen yang dapat diterapkan.
"Tidak ada penanganan atau pun solusi permanen yang dapat diterapkan," kata Ahmad Sujarnya.
Menurut Ahmad Shalihin, pendekatan dengan melibatkan semua pihak adalah kunci dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Ia menekankan bahwa penyelesaian yang sedang berlangsung saat ini sering kali hanya berfokus pada satwa liar tanpa mempertimbangkan pentingnya keterlibatan dan kerja sama dari berbagai pihak untuk menemukan solusi yang efektif.
“Selama ini yang jadi persoalannya, bicara konflik satwa yang diingat oleh orang pada umumnya adalah satwanya, orang hanya melihat satwanya saja. Otomatis itu bicara satwa bicara kewenangan, satwa itu kewenangannya hanya di pusat,” ujar Ahmad, Senin (3/6/2024).
Terdapat tiga komponen penting yang harus diperhatikan dalam penyelesaian konflik satwa; pertama satwanya sendiri, yang kedua masyarakatnya dan ketiga adalah kawasannya.
“Nah kalau ketiga komponen ini dilihat, ternyata kewenangan penanganan konflik satwa ini bukan hanya di pusat. Selama ini pemahaman pemerintah daerah yaitu penanganan konflik satwa ini ada di pusat, sebenarnya tidak. Tidak hanya pusat, tapi daerah juga punya kewenangan. Jika daerah melihat tiga komponen tadi; manusia, kawasan dan satwa. Satwa kewenangan pusat, kawasan seperti hutan menjadi kewenangan pusat dan provinsi,” Ahmad .
Menurut Ahmad Shalihin, satwa liar tidak lagi berada dalam kawasan konservasi dan kawasan lindung, tetapi sudah di area perkebunan dan permukiman.
“Nah, makanya sebenarnya konflik satwa ini tidak semata-mata kewenangan pusat, tapi juga ada kewenangan daerah. Terutama dalam sisi manusia dan kawasan diluar kawasan hutan,” ujar Ahmad.
Seperti diketahui, jumlah kasus interaksi negatif antara manusia dan satwa liar dari 2019 hingga 2023 berjumlah 113 kasus. Kasus tersebut didominasi oleh konflik harimau dan manusia dengan total 68 kasus, kasus konflik gajah dan manusia berjumlah 34 kasus dan konflik antara orang hutan dan manusia berjumlah 11 kasus.
Di Aceh Selatan sendiri telah terjadi 19 kasus konflik antara manusi dan satwa liar.
“Yang harus dipahami, tidak ada solusi permanen untuk penyelesaian. Dan kemudian tidak cukup hanya dengan satu solusi, tidak ada solusi tunggal. Harus dikerjakan secara kolaboratif, mulai dari tingkatan masyarakat, Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat,” tutup Ahmad.[]