Pasangan yang memilih untuk "childfree" kerap dianggap egois, tidak dewasa, atau bahkan menentang nilai-nilai tradisional.

Salahkah Jika Pasangan Memutuskan untuk Childfree?

Ilustrasi

PINTOE.CO - Keputusan untuk tidak memiliki anak atau yang dikenal sebagai child-free semakin menjadi pilihan banyak pasangan di berbagai belahan dunia.

Namun, di tengah masyarakat yang kerap menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional, keputusan ini sering memicu berbagai perdebatan. Banyak yang mempertanyakan, apakah keputusan untuk childfree itu wajar? Jawabannya tentu bergantung pada sudut pandang dan nilai-nilai yang dianut oleh individu maupun masyarakat sekitar.

Istilah childfree merujuk pada keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun adopsi. Ini berbeda dari childless, yang menggambarkan kondisi tidak memiliki anak karena alasan tertentu, seperti masalah kesehatan atau ketidaksuburan. Childfree adalah pilihan sadar dan disengaja, yang sering kali didasarkan pada berbagai alasan, seperti keuangan, karier, kesehatan mental, atau bahkan kepedulian terhadap lingkungan.

Dalam beberapa dekade terakhir, konsep childfree menjadi lebih umum, terutama di negara-negara maju. Di Indonesia, meski masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat, fenomena childfree mulai mendapat perhatian. Pasangan yang memilih untuk childfree terkadang mendapat tekanan sosial karena dianggap menyimpang dari norma yang telah tertanam lama.

Ada berbagai alasan yang mendorong pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak. Pertama, fokus pada karier dan pengembangan diri. Banyak pasangan, terutama di era modern, ingin fokus pada karier mereka. Mereka merasa bahwa memiliki anak dapat mengurangi waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk mengejar impian atau memperluas potensi diri.

Kedua, faktor keuangan. Biaya membesarkan anak tidaklah murah. Dari kebutuhan dasar seperti makanan dan pendidikan, hingga pengeluaran tambahan seperti kesehatan dan hiburan, membesarkan anak membutuhkan komitmen finansial jangka panjang. Beberapa pasangan merasa lebih nyaman hidup tanpa tanggungan finansial sebesar itu.

Ketiga, kesehatan mental dan fisik. Sebagian individu mungkin merasa bahwa menjadi orang tua dapat membebani kesehatan mental atau fisik mereka. Kekhawatiran tentang kemampuan untuk memberikan perhatian dan dukungan yang cukup kepada anak juga menjadi alasan penting.

Keempat, kepedulian lingkungan. Beberapa orang memutuskan untuk child-free dengan alasan kepedulian terhadap lingkungan. Mereka khawatir bahwa pertambahan populasi akan memperburuk masalah seperti perubahan iklim, deforestasi, dan kekurangan sumber daya.

Kelima, gaya hidup dan kebebasan. Memiliki anak sering kali dianggap sebagai tanggung jawab besar yang membatasi kebebasan. Pasangan yang memilih child-free biasanya ingin menjalani hidup sesuai keinginan mereka tanpa tekanan untuk memenuhi peran sebagai orang tua.

Di banyak budaya, termasuk Indonesia, menikah dan memiliki anak dianggap sebagai siklus hidup yang normal. Anak sering dianggap sebagai penerus garis keluarga, sumber kebahagiaan, dan bentuk investasi sosial di masa tua. Oleh karena itu, pasangan yang memilih untuk childfree kerap dianggap egois, tidak dewasa, atau bahkan menentang nilai-nilai tradisional.

Tekanan sosial ini tidak jarang membuat pasangan merasa terasing atau bahkan diragukan dalam peran mereka sebagai suami dan istri. Pertanyaan seperti “Kapan punya anak?” atau “Nanti siapa yang akan merawat kamu di masa tua?” sering kali dilemparkan kepada pasangan childfree, seolah-olah keputusan mereka perlu dipertanyakan atau diperbaiki.

Namun, penting untuk diingat bahwa nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tidak selalu relevan dengan keadaan dan preferensi individu. Tidak semua orang memiliki aspirasi yang sama, dan memaksakan satu pandangan kepada orang lain dapat menjadi bentuk diskriminasi.

Apakah salah memilih childfree?

Keputusan untuk childfree bukanlah sesuatu yang dapat dinilai benar atau salah secara mutlak. Setiap pasangan memiliki hak untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri, termasuk memutuskan apakah ingin memiliki anak atau tidak.

Dalam banyak kasus, keputusan ini didasarkan pada pertimbangan yang matang, dan pasangan yang memilih child-free sering kali memahami konsekuensi dari pilihan tersebut.

Penting untuk mengakui bahwa menjadi orang tua adalah komitmen besar yang membutuhkan kesiapan mental, emosional, dan finansial. Memaksakan seseorang untuk menjadi orang tua tanpa kesiapan dapat berdampak negatif pada kehidupan anak maupun orang tua itu sendiri.

Dari sudut pandang etika, keputusan untuk child-free dapat dianggap sebagai bentuk tanggung jawab. Pasangan yang sadar bahwa mereka tidak dapat memberikan kehidupan yang layak bagi anak-anak mereka memilih untuk tidak memiliki anak daripada memaksakan diri. Ini menunjukkan bahwa keputusan ini tidak didasarkan pada egoisme semata, tetapi juga pada kesadaran akan tanggung jawab.

Untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang keputusan childfree, masyarakat perlu membuka ruang dialog yang lebih inklusif dan tidak menghakimi. Menghormati keputusan pasangan adalah bentuk penghargaan terhadap keberagaman pilihan hidup. Tidak semua orang memiliki tujuan hidup yang sama, dan tidak memiliki anak bukan berarti pasangan tersebut kehilangan makna atau kontribusi dalam masyarakat.

Sebagai individu, kita juga perlu belajar untuk tidak mengukur kebahagiaan orang lain dengan standar kita sendiri. Memiliki anak mungkin menjadi kebahagiaan bagi sebagian orang, tetapi bagi pasangan childfree, kebahagiaan mungkin ditemukan dalam pencapaian karier, perjalanan, atau hubungan yang mendalam dengan pasangan.

Keputusan untuk childfree bukanlah hal yang salah. Itu adalah pilihan yang didasarkan pada pertimbangan pribadi, dan setiap pasangan berhak menentukan apa yang terbaik untuk mereka. Pada akhirnya, kebahagiaan sejati adalah hidup sesuai dengan nilai dan pilihan yang kita yakini, bukan dengan memenuhi ekspektasi orang lain.[]

 

Editor: Bisma

childfree childfree indonesia fenomena childfree