Awas, jangan usil bertanya: sesuatu yang tidak jelas kok disepakati dalam MoU Helsinki.

Menyoal Batas Aceh 1 Juli 1956 yang Masih Gaib

Ilustrasi wilayah Aceh

PINTOE.CO - Gaib. Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata itu bermakna: tidak kelihatan, tidak nyata, atau tersembunyi.

Itulah yang terjadi pada batas wilayah Provinsi Aceh sejak MoU Helsinki diteken pada 15 Agustus 2005. Dalam perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu, pada poin 1.1.4 disebutkan,"Perbatasan Aceh pada perbatasan 1 Juli 1956".

Namun, jika ditanya sampai mana batas 1 Juli 1956 itu? Semua mengatakan tidak tahu, termasuk Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar yang ketika itu menandatangani perjanjian damai di Helsinki mewakili petinggi GAM.

Apakah itu batas imajiner sehingga semua orang yang terlibat menjawab tidak tahu? Entahlah. Yang pasti, hal itu baru disadari pada 2020 lalu, 15 tahun setelah MoU diteken.

Saat itu, terjadi sengketa wilayah antara Aceh dengan Sumatera Utara. Kemendagri akhirnya memasukkan 4 pulau di Pulau Banyak, Aceh Singkil, ke dalam wilayah Sumatera Utara.  

Ketika sengketa terjadi, barulah Aceh kasak-kasuk, mencari-cari di mana tapal batas 1 Juli 1956 seperti disebut dalam MoU Helsinki. Sialnya, tak satu pun pihak terkait mengaku punya peta tapal batas 1 Juli 1956.

Aceh sebelum 1956 memang berstatus residen dalam wilayah Sumatera Utara. Hingga pada 29 November 1956, Presiden Sukarno menandatangani UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara.

Namun, dalam undang-undang itu, hanya memuat kabupaten yang termasuk dalam wilayah Aceh, yakni; Aceh Besar, Pidie,  Aceh Utara,  Aceh Timur,  Aceh Tengah, Aceh Barat,  Aceh Selatan dan Kota Besar Kutaraja (sekarang Banda Aceh).

Sebagai catatan, saat itu Aceh Tamiang masih berada dalam wilayah Aceh Timur.

Muncul pertanyaan: kok bisa perjanjian diteken jika tak ada wujud petanya?

Ketika kasak-kasuk pencaplokan 4 pulau itu terjadi, DPR Aceh mencoba menanyakannya kepada Wali Nanggroe. Sayangnya, Wali pun tak tahu di mana itu peta.

Wali bilang, klausul tapal batas 1 Juli 1956 itu dimasukkan oleh delegasi Indonesia. Tapi petanya tak ada.

Wali Nanggroe mengatakan bahwa dirinya sudah meminta dokumen seperti peta pada Pemerintah Indonesia, termasuk pada  mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

“Sudah saya minta, beberapa kali, tetapi tidak diberikan,” kata Wali Nanggroe Tgk Malik Mahmud Al Haythar saat ditemui anggota DPR Aceh.

Hal serupa kembali disampai Wali Nanggroe usai bertemu Gubernur Aceh yang saat itu dijabat Nova Iriansyah pada 17 Juli 2020.

Usai pertemuan, Wali Nanggroe dan Gubernur Nova mengumumkan akan membentuk tim bersama untuk menelusuri di mana peta Aceh 1 Juli 1956 itu.

Setelah tim dibentuk, kata Wali saat itu, mereka akan menghadap Presiden untuk menanyakan di mana petanya.

Sayangnya, setelah itu tak ada lagi kabar tindak lanjutnya.

LSM YARA pernah mencoba menanyakannya ke ke Kementerian Hukum dan HAM. Namun, dalam suratnya nomor SEK.5-HH.01.05-40, tanggal 8 juli 2021, Kemenkumham mengatakan juga tidak punya peta itu.

"Bersama ini kami sampaikan informasi tersebut tidak dalam penguasaan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia," tulis Kemenkumham merespon surat YARA.   

Walhasil, peta Aceh 1 Juli 1956 seperti disebut dalam MoU Helsinki itu hingga kini hanya menjadi imajinasi. Masih gaib!

Awas, jangan usil bertanya: sesuatu yang tidak jelas barangnya kok disepakati dalam MoU Helsinki. Ups![]

aceh batasaceh aceh1juli1956 pintoe