Sineas Aceh: Bioskop Sarana Pendidikan dan Transfer Budaya, Bukan Sarang Maksiat
Eva beharap wacana bioskop syariah dapat menjadi terobosan awal untuk menyediakan ruang apresiasi bagi sineas lokal.
Ketua Aceh Bergerak Eva Hazmaini (Kompas)
PINTOE.CO - Ketua Komunitas Aceh Bergerak Eva Hazmaini turut menanggapi gagasan pendirian "bioskop syariah" yang dalam beberapa hari terakhir banyak dibicarakan warga Kota Banda Aceh.
Eva menilai bahwa bioskop tidak hanya menjadi wadah hiburan, tetapi juga sebagai sarana pendidikan dan transfer budaya.
Di samping itu, kehadiran bioskop di daerah seyogyanya dapat menjadi pemantik semangat sineas lokal dalam memproduksi karya-karya bermutu untuk disajikan kepada khalayak. Sayangnya, Pemerintah Kota Banda Aceh belum menyokong aktivitas para sineas sampai ke level ini.
“Selama ini kami para sineas berjalan mandiri. Lebih banyak didukung dari kementerian daripada pemerintah kota,” kata Eva Hazmaini, Kamis, 31 Oktober 2024.
Menurut Eva, sejauh ini dukungan dari Pemkot Banda Aceh terhadap industri kreatif, khususnya perfilman, masih minim dan terbatas pada seremonial saja.
Untuk itu, Eva beharap wacana bioskop syariah dapat menjadi terobosan awal untuk menyediakan ruang apresiasi bagi sineas lokal.
Eva menambahkan bioskop syariah ini tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga menjadi ruang tonton publik yang sesuai syariat dan dapat mendukung kreativitas.
"Aceh Bergerak sudah lama menyuarakan pentingnya ruang tonton publik, terutama sebagai wadah apresiasi karya lokal yang selama ini diinisiasi secara mandiri oleh para sineas dengan keterbatasan alat," ujarnya.
Selain itu, Eva mengeluh sulitnya memperoleh dukungan dan perhatian pemerintah dalam memajukan industri kreatif. Dampaknya, banyak kreator lokal terpaksa meninggalkan Aceh guna mengembangkan bakat di tempat lain.
"Keterbatasan ruang gerak dan minimnya apresiasi membuat kami sulit maju di Aceh. Kami berharap dengan adanya bioskop syariah, akan ada lebih banyak peluang bagi industri film lokal,” ucapnya.
Sineas Aceh, kata Eva, menyadari adanya aturan syariat yang berlaku di Aceh. Namun, dia berharap agar regulasi tersebut hanya membatasi, bukan menghentikan kreativitas.
"Jika syariat Islam justru menghentikan gerak kreativitas, maka industri perfilman Aceh sulit berkembang," ujarnya.
Eva menyarankan adanya pemisahan tempat duduk untuk laki-laki, perempuan, dan keluarga seperti yang telah mereka terapkan setiap kali mengadakan nonton bareng film karya sineas lokal maupun dari daerah lain.
"Jangan memandang bioskop sebagai sarang maksiat. Kita punya Komisi Informasi Aceh (KIA) dan Lembaga Sensor Film yang bisa menyaring tontonan agar sesuai dengan nilai syariat,” pungkasnya.[]
Editor: Bisma