Jangan Lupakan Reklamasi Lahan Bekas Pertambangan
Kajian Auriga Nusantara pada 2020 menyebut seluas 87.000 hektare lubang tambang belum direklamasi di Indonesia.
Aneka spot wisata di Kampung Reklamasi Air Jangkang sumber: PT Timah Tbk
PINTOE.CO – Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi sumber daya alamnya yang sangat melimpah. Hal ini menyebabkan maraknya akifivitas. Namun, meski meningkatkan pendapatan negara, kegiatan pertambangan juga memberikan dampak buruk, terutama untuk lingkungan.
Itu sebabnya, dibutuhkan proses pemulihan dan rehabilitasi lahan bekas pertambangan agar dapat kembali pada kondisi alaminya setelah kegiatan penambangan selesai. Kegiatan ini disebut dengan reklamasi tambang.
Reklamasi tambang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan akibat penambangan dan memulihkan lahan agar dapat berfungsi kembali untuk berbagai keperluan seperti pertanian, kehutanan, rekreasi, atau konservasi alam.
Dalam mengatur hal ini, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Pasca Tambang Keputusan dan Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik Dan Pengawasan Pertambangan Mineral Dan Batubara.
Adapun tujuan diterbitkannya dua peraturan tersebut agar dampak negatif dari aktivitas pertambangan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan.
Dilansir dari situs resmi Kementerian ESDM, data per 31 Desember 2023 menyatakan reklamasi bekas tambang tahun 2023 telah terealisasi 7.920,77 hektare atau 111,95% dari target seluas 7.075 hektare.
Salah satu pertambangan yang berhasil direklamasi adalah lahan bekas tambang timah yang dikelola oleh PT Timah Tbk.
Sebelum direklamasi, lahan bekas tambang ini berupa void (ruang kosong bekas galian tambang), tailing (limbah industri pertambangan), kolong, rawa, dan topografi yang belum stabil.
Berlokasi di Kepulauan Bangka Belitung, area seluas 37 hektare ini menjadi salah satu objek wisata nursery (tempat pembiakan bibit tanaman), perikanan, peternakan, wisata air, dan konservasi binatang yang diberi nama Kampung Reklamasi Air Jangkang.
Sebagai catatan, kajian Auriga Nusantara pada 2020 menyebut seluas 87.000 hektare lubang tambang belum direklamasi di Indonesia. Lubang tambang yang tidak direklamasi ini memiliki risiko melanggar hak warga yang hidup di sekitar tambang.
Reklamasi lahan bekas tambang menjadi aspek penting bagi perusahaan tambang untuk memulihkan kembali kondisi lingkungan yang telah berubah akibat kegiatan penambangan.[]