Kerajinan Tangan Perempuan Gayo: Dari Masa Snouck Hurgronje sampai Mellani Subarni
Di masa silam, keterampilan membuat barang-barang anyaman bisa menambah keanggunan dan kehormatan seorang perempuan.
Kantong yang dianyam perempuan Gayo | Sumber: "Het Gajoland en Zijne Bewoners" (Snouck Hurgronje, 1903)
PINTOE.CO - Waktu Snouck Hurgronje menetap di Dataran Tinggi Gayo, ia melihat para perempuan di sana amat terampil membuat serbaneka kerajinan tangan.
Seni kerajinan tangan ditekuni karena bisa mendatangkan penghasilan sekaligus menambah harta benda diri maupun keluarga. Dalam amatan Snouck, ada tiga kerajinan tangan yang banyak digeluti perempuan Gayo.
Yang pertama adalah membuat tenun. Kegiatan ini diawali dari memintal benang dari kapas, mewarnainya, hingga membuat pakaian jadi. Khusus pewarnaan benang harus dilakukan dengan hati-hati. Ada satu keyakinan tradisional bahwa kalau seorang perempuan gagal membuat cairan berwarna nila atau biru kehitaman yang sempurna, maka itu suatu pertanda buruk.
“Pertanda bahwa salah seorang saudara sedarahnya bakal mengalami kecelakaan,” tulis Snouck dalam Het Gajoland en Zijne Bewoners (1903).
Kerajinan yang juga banyak dibuat adalah anyaman. Ada macam-macam anyaman yang dihasilkan seperti tikar, tempat menyimpan beras, perkakas sirih, dan sebagainya. Setiap jenis anyaman memakai bahan baku utama yang berbeda. Untuk membuat anyaman keranjang, bahan baku utamanya adalah rotan atau we (bahasa Gayo). Rotan dibelah, diraut, lalu dianyam sampai berbentuk benda yang diinginkan.
Selain rotan, dedaunan dan tumbuhan rawa juga diolah jadi bahan baku anyaman. Wadah untuk menyimpan barang dan makanan bisa dibuat perempuan Gayo dari daun pandan atau daun rumbia yang sudah dikeringkan. Demikian halnya daun nipah dan gebang kering dipakai untuk menganyam tikar.
Di masa silam, keterampilan membuat barang-barang anyaman bisa menambah keanggunan dan kehormatan seorang perempuan.
“Seorang gadis yang rajin membuat anyaman, meninggikan gengsinya di mata masyarakat. Ini berarti bahwa gadis itu akan menjadi incaran untuk dijadikan menantu,” tulis tim peneliti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam buku Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1977/1978).
Jumlah tikar yang berhasil dianyam seorang gadis menunjukkan tingkat kerajinannya sebagai seorang perempuan. Semakin banyak tikar berarti semakin rajin. Saat acara antar pengantin perempuan ke rumah mempelai pria (mah beru), orangtua pengantin akan memperlihatkan jumlah tikar serta anyaman lain yang dibuat anak perempuannya.
“Tikar yang bertumpuk-tumpuk dan tergulung di dalam rumah merupakan suatu kebanggaan bagi ibu-ibu. Sebaliknya, akan merasa malu dan hina kalau pada saat mah beru putrinya hanya dapat menunjukkan sedikit hasil anyamannya,” kata Snouck.
Yang ketiga adalah seni kerajinan tanah liat. Snouck menemukan banyak perempuan Gayo terlibat dalam pembuatan tembikar atau keramik yang menggunakan dah (tanah liat) dan kersik (pasir halus). Barang yang dihasilkan adalah periuk nasi, piring, belanga, atau wadah air. Kebanyakan dipakai untuk diri sendiri atau perkakas rumah tangga. Hanya sedikit perempuan yang pandai membuat keramik yang betul-betul halus.
“Mereka yang pandai lalu menjualnya,” tulis Snouck.
Sampai sekarang, para perempuan Gayo masih melestarikan seni kerajinan yang dahulu dilihat Snouck Hurgronje. Buah karya mereka dilihat langsung oleh Pj Ketua Dekranasda Aceh Mellani Subarni saat mengunjungi Gampong Toweren Antara, Aceh Tengah, hari Rabu kemarin (31 Juli 2024).
Waktu tiba di kampung itu, Mellani Subarni dipasangi kalung bunga puspawarna serta diselimuti Kerawang Gayo nan elegan. Ia senang hati melihat hasil kerajinan tangan para perempuan di sana. Ada sulaman, cucuk, hiasan dinding, kotak pensil, tempat tisu, bingkai foto, dan aneka tikar anyaman ragam warna.
“Saya sangat bangga,” puji Mellani Subarni.[]
Mellani Subarni melihat sebuah topi anyaman bikinan perempuan di Toweren Antara, Aceh Tengah