Ali Hasjmy Protes Nurcholis Madjid karena Mengubah Makna “La Ilaha Illallah”
Ketua MUI Aceh Ali Hasjmy menilai pendapat Cak Nur bisa menyesatkan orang Islam.
Surat protes Ali Hasjmy kepada Cak Nur | Sumber: arsip Bisma Yadhi Putra/Pintoe.co
PINTOE.CO - Dengan dalih untuk mewujudkan “kerukunan hidup beragama”, Nurcholis Madjid atau Cak Nur mengajak umat Islam mengganti kata “Allah” dengan “Tuhan”. Ajakan ini mulai rutin ia perdengarkan ke publik pada periode 1985-1986.
Pada 1 Maret 1988, Cak Nur semakin menggemakan ajakan tersebut. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Yayasan Wakaf Paramadina (YWP), Cak Nur menerbitkan Surat Nomor 001/I/III/1988/YWP yang ditujukan kepada ustaz, ustazah, alim ulama, dan khatib di seluruh Indonesia.
Dalam surat ini, Cak Nur mengimbau para guru agama tak keberatan mengubah arti kalimat tauhid la ilaha illallah menjadi “tiada tuhan melainkan Tuhan itu sendiri”. Cak Nur mengajak umat Islam meninggalkan terjemahan “tiada tuhan selain Allah”.
“Sebagai Ketua Yayasan Wakaf Paramadina yang saat ini dianggap sebagai cendikiawan Muslim, saya telah ditunjuk sebagai orang yang tepat untuk menghimbau bapak-bapak sebagai tokoh-tokoh umat Islam, agar tidak keberatan untuk mengajarkan kepada murid-murid asuhannya masing-masing atau kepada jamaahnya masing-masing bahwa arti daripada LA ILAHA ILLALLAAH ialah tidak ada Tuhan melainkan Tuhan itu sendiri,” tulis Cak Nur dalam suratnya.
Mungkin agar ajakannya berpengaruh kuat, dalam suratnya Cak Nur sengaja menulis nama-nama intelektual yang berafiliasi dengan Lembaga Pertahanan Nasional dan ABRI. Dua lembaga ini menerbitkan sebuah majalah bernama Persepsi. Di majalah inilah para intelektual pendukung Cak Nur bekerja sebagai staf ahli. Mereka adalah Dr. Lei Tek Tjeng, Dr. Soerjanto, Dr. Andre Hardjana, Dr. Anwar Nasution, dan Dr. Muchtar Buchori.
Cak Nur memang menyebut jelas tujuan ajakannya ialah untuk menciptakan kerukunan. Akan tetapi, ia tak menjelaskan lebih lanjut apa hubungannya kata “Allah” dalam kalimat tauhid dengan masalah kerukunan di Indonesia. Dia cuma menjelaskan kerukunan umat beragama penting bagi kelancaran pembangunan nasional.
Ajakan Cak Nur langsung mengusik ketenangan banyak pihak. Para intelektual Muslim di Indonesia seperti H.M. Rasjidi, Hasbullah Bakry, Ridwan Saidi, dan Ali Hasjmy melantangkan kritik keras. Menurut mereka, apa yang dianjurkan Cak Nur berselisih dengan akidah sehingga akan menyesatkan kaum Muslim.
Di Aceh, surat imbauan Cak Nur dibahas dalam Rakerwil Dewan Masjid Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Acara ini berlangsung di Hotel Rasa Sayang Ayu (sekarang Hotel Rasamala), Banda Aceh, pada 4-6 April 1988.
Dalam forum ini, yang terdepan mengkritik Cak Nur adalah Ketua MUI Aceh Ali Hasjmy. Kepada para hadirin, Ali Hasjmy menjelaskan pada 17 Maret 1988 ia sudah menyampaikan tanggapan dan protes tertulis kepada Cak Nur lewat Surat Nomor 450/338.
Di suratnya itu, Ali Hasjmy menyatakan: “Anjuran Saudara supaya ‘Laa ilaha illallah’ diterjemahkan ‘tidak ada Tuhan melainkan Tuhan itu sendiri’, bagi kami sangat keberatan, oleh karena bertentangan dengan yang sebenarnya”.
Ali Hasjmy menjelaskan, kalimat “tiada Tuhan melainkan Tuhan itu sendiri” dalam bahasa Arab berbunyi “laa ilaaha illaa iyyahu”. Bukan la ilaha illallah. Oleh karenanya, pendapat Cak Nur dinilai “sangat menyalahi dan sangat menyimpang”. Menurut Ali Hasjmy, kata-kata “Allah” tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Berbeda dengan “ilah” yang dapat diterjemahkan sebagai “Tuhan” atau “God” dalam bahasa Inggris.
“Karena itu, anjuran Saudara tersebut tidak dapat kami laksanakan. Bahkan kami anjurkan kepada para ulama-ulama dan guru, serta seluruh rakyat Aceh, untuk menolak anjuran Saudara,” Ali Hasjmy menentang. Ia mencurigai Cak Nur punya maksud terselubung di balik anjuran tersebut. Kepentingan terlubung itu ditutupi Cak Nur dengan narasi “kerukunan hidup beragama”.
Dua tahun sebelumnya, Cak Nur sebetulnya pernah menanggapi kritik seperti yang Ali Hasjmy utarakan. Tanggapan itu dia sampaikan dalam sebuah wawancara yang diterbitkan dalam Harian Pelita edisi 17-21 Oktober 1986. Dalam wawancara itu, Cak Nur menyebut para pengkritiknya sebagai orang-orang yang “kurang membaca buku”.
Cak Nur mencontohkan terjemahan The Holy Quran oleh A. Yusuf Ali yang diterbitkan Rabithah Alam Islami. Dalam surat “Muhammad” ayat 19, misalnya, kalimat “fa’lam annahu la ilaha illa Allah” diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi “know, therefore, that there is no god but God”.
“Kitab terjemahan ini diterjemahkan oleh Rabithah Alam Islami sehingga menunjukkan tingkat keabsahannya. Di sini Allah bisa diterjemahkan dengan God, dan di sini tidak ada sama sekali perkataan Allah dalam bahasa Inggris. Semuanya jadi God,” kata Cak Nur.
Selain itu, Cak Nur juga mengutip kitab tafsir Muhammad Asad berjudul The Message of the Koran. Asad menginggriskan kata “ilah” dengan “deity” dan “Allah” dengan “God”.
“Dalam buku-buku yang berbahasa Inggris, ada juga yang menggunakan kata Allah, tapi banyak juga yang sama sekali tidak menggunakan kata Allah. Satu buku, semua menggunakan kata-kata God, bukan Allah. Tadi saya katakan, bahwa Allah itu merupakan sebutan dalam bahasa Arab untuk konsep Wujud Yang Mahatinggi, the Supreme Being. Oleh karena itu, Supreme Being ini bisa disebut macam-macam dalam bahasa berbagai bangsa,” Cak Nur mengulas.
Untuk referensi dalam negeri, Cak Nur mengutip Buya Hamka. Cak Nur bilang, di salah satu tulisannya Buya Hamka pernah menceritakan dahulu di Semenanjung Melayu ungkapan “Allah Ta’ala” disalin dalam bahasa Melayu dengan sebutan “Dewata Mulia Raya”.
“Tidak ada ulama-ulama yang membantah,” kata Cak Nur.
Cak Nur yakin, bantahan-bantahan terhadapnya lahir dari orang-orang yang mengalami keterbatasan referensi. “Mereka itu kehilangan jejak riwayat intelektualisme Islam akibat adanya suatu fase dalam pemikiran Islam di Indonesia yang ramai-ramai meninggalkan kitab lama. Di sinilah relevansinya kita menyerukan untuk kembali melihat kita-kitab lama,” ungkap Cak Nur dalam buku Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (1998).[]