Bawaslu Sebut Pilkada Serentak 2024 Lebih Rawan dari Pemilu, Ini Sebabnya
“Pilkada lebih rawan, karena hampir semua tempat kerusuhan terjadi di pilkada. Di pemilu ada satu atau dua kasus, tapi di pilkada banyak,” kata Bagja dikutip dari situs resmi Bawaslu, Kamis, 1 Agustus 2024.

Rahmat Bagja Ketua Bawaslu RI
PINTOE.CO - Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengatakan situasi Pilkada Serentak 2024 akan lebih rawan dibandingkan pemilu presiden atau pemilu legislatif sebelumnya.
“Pilkada lebih rawan, karena hampir semua tempat kerusuhan terjadi di pilkada. Di pemilu ada satu atau dua kasus, tapi di pilkada banyak,” kata Bagja dikutip dari situs resmi Bawaslu, Kamis, 1 Agustus 2024.
Menurut Bagja, ini terjadi karena pemilih dan calon kepala daerah memiliki kedekatan yang lebih erat, bahkan seringkali diwarnai unsur kekeluargaan dalam kompetisi.
Bawaslu memetakan tingkat kerawanan dalam setiap pemilihan melalui indeks kerawanan pemilu (IKP) yang dibagi dalam empat dimensi: sosial politik, penyelenggara pemilu, kontestasi, dan partisipasi.
Bagja menyebut dimensi kontestasi dan sosial politik yang akan meningkat.
“Di empat dimensi yang kami petakan, konteks sosial politik dan kontestasi pasti akan mengalami peningkatan saat pilkada,” ujarnya.
Bagja menekankan pentingnya anggaran yang memadai selama tahapan pencalonan, karena situasi rawan biasanya mulai muncul saat itu.
“Anggaran harus ada saat pencalonan, karena ada pengerahan massa dan pengawasan memerlukan dana,” tambahnya.
Di wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, Bawaslu mencatat status kerawanan saat Pemilu 2024 adalah rawan sedang. Meskipun di Bali masih ada beberapa wilayah yang rawan, jumlahnya tidak sebanyak di NTT dan NTB.
Bagja percaya bahwa pengawas harus lebih waspada selama Pilkada Serentak 2024.
“Kabupaten/kota yang paling harus kita waspadai, bukan pemilihan gubernur. Pemilihan gubernur relatif aman,” katanya.
Meski status Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur rawan sedang saat Pemilu 2024, Bagja tidak menutup kemungkinan indeks kerawanan pilkada bisa berubah.
“Belajar dari pilkada sebelumnya, daerah yang pernah mengalami kerusuhan pasti memiliki indeks kerawanan yang tinggi. Misalnya Makassar, karena pernah ada kerusuhan pilkada sebelumnya,” tutup Bagja.[]