Tugu Pendaratan Belanda, Monumen Bersejarah di Pantai Ulee Lheu yang Terbengkalai
Jika diurus dengan benar, monumen bersejarah ini berpotensi menarik banyak wisatawan yang dapat menambah pendapat penduduk lokal, seperti yang diharapkan Razali.
Tugu pendaratan Belanda yang terbengkalai di Uleelheu | Foto: Pintoe.co/Indah Latifa
PINTOE.CO - Namanya Tugu Pendaratan Belanda. Letaknya di tepi pantai Ulee Lheu, Banda Aceh. Dibuat sebagai destinasi wisata untuk mengenang pendaratan Belanda di Aceh pada 21 Maret 1873 sekaligus dimulainya Perang Aceh melawan Belanda, tugu itu seharusnya meninggalkan kesan mendalam untuk pengujung.
Namun, harapan itu tampaknya terlalu tinggi. Ketika Pintoe.co berkunjung ke sana beberapa hari lalu, yang ditemui adalah tugu setengah jadi yang tak tersentuh perawatan.
Terletak di antara bangunan Kompi Air Bekangdam IM dan Polsek Ulee Lheu, di sebuah lorong, ada papan penunjuk arah bertuliskan “Tugu Pendaratan Belanda”.
Ada rasa penasaran sebab selama ini tugu itu tak terdengar namanya. Jalanan masuknya ternyata pernah diaspal meski sekarang terlihat telah terpecah-pecah. Dikelilingi puluhan pohon pinus yang melambai-lambai ditampar angin pantai dan bangunan-bangunan terbegkalai. Terkesan sedikit suram.
Tak jauh dari jalan utama, sekitar 50 meter jauhnya, terlihat satu bangunan tua tinggi menjulang di antara pepohonan pinus dan rumah-rumah pedagang jajanan di tepi pantai.
Pintoe.co pun mencoba mencari penunjuk arah lainnya yang mengarah ke bangunan tua tersebut.
Tampak jalan setapak mengarah ke tugu itu sudah lama dicor dengan semen, namun kini tertutupi dengan sampah dedaunan dan rumput liar yang menjalar. Kesan terabaikan langsung terlihat. Tak ada pagar pembatas, bahkan papan penanda juga sudah miring.
Tugu Pendaratan Belanda berbentuk balok yang mengerucut di ujungnya. Ukurannya yang raksasa itu membuatnya berdiri kokoh menjulang membelah dahan-dahan pinus.
Tingginya sekitar 30 meter dengan diameter 2,5 meter. Di sisi Utara, bangunan ini berbatasan dengan laut, sementara di sebelah Selatan berbatasan dengan bekas kantor Bulan Sabit Merah Kuwait yang sama terbengkalainya.
Miris dengan keadaannya yang tak terurus itu, Pintoe.co mencoba berkomunikasi dengan para pemancing yang kerap kali datang di sepanjang pesisir pantai tersebut, namun tak satupun yang mengetahui informasi mengenai tugu tersebut. Tampaknya bangunan bersejarah itu telah dilupakan keberadaannya oleh masyarakat.
Berjalan beberapa meter, Pintoe.co menjumpai seorang penjual minuman. Rupanya ia warga asli Ulee Lheu yang telah lebih 20 tahun berjualan di lokasi itu.
Razali, namanya. Ia juga tak tahu banyak tentang keberadaan tugu itu, selain orang-orang yang berkunjung lalu segera pergi.
“Kek gitu terus dari dulu itu. Pemko ada datang sekali-kali cuma liat-liat gitu aja,” ujar Razali.
Begitu miris melihat tugu raksasa yang susah payah dibangun untuk menandai masa kedatangan Belanda ke Aceh itu harus terlantar begitu saja. Padahal, jika diurus dengan benar, monumen bersejarah ini berpotensi menarik banyak wisatawan yang dapat menambah pendapat penduduk lokal, seperti yang diharapkan Razali.
“Harus dibangun yang bagus dikit lah ya. Supaya ramai orang ke sini. Kalau kayak gitu mana ramai, semak-semak gitu kan," kata Razali.
Bagaimana instansi yang mengurus pariwisata Aceh, apakah menghargai jasa pahlawan yang melawan Belanda bukan bagian dari budaya Aceh sehingga tak perlu diurus? Apakah tidak malu jika tamu PON XXI dari seluruh Indonesia melihatnya pada September nanti, sementara Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah sudah mewanti-wanti bahkan PON XXI adalah menjaga marwah Aceh? []