BKSDA: Penanganan Interaksi Negatif Satwa Liar Butuh Kolaborasi Banyak Pihak
Dirinya mengatakan akan memperkuat koordinasi bersama lintas eleman terkait, terutama bersama DPRA, Pemerintah Provinsi dan daerah guna memperkuat aturan terkait tentang pengelolaan satwa liar.
Foto: Suara.com
PINTOE.CO - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Muhammad Rizky, meminta Pemerintah Aceh untuk serius menangani interaksi negatif atau konflik antara satwa liar yang dilindungi dengan masyarakat.
Hal ini disampaikan setelah peristiwa seekor gajah liar yang kembali masuk ke perkampungan di Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan, pada Senin (27/5/2024) lalu.
Muhammad Rizky menegaskan pentingnya upaya konkret dari pemerintah dalam mengatasi interaksi negatif antara manusia dan satwa liar di Aceh.
Menurut Rizky, interaksi negatif itu terjadi karena terputusnya koridor satwa yang disebabkan oleh pengalihan fungsi lahan yang masif.
Anggota DPRA, Muhammad Rizky, mendorong BKSDA memprioritaskan penanganan konflik manusia-satwa liar yang dilindungi.
“Pemerintah Aceh dan BKSDA harus memasukkan kasus ini sebagai masalah prioritas yang harus dicari solusi konkrit sehingga masyarakat tidak lagi mengalami kerugian,” kata Rizky (30/5/2024).
Merespon hal tersebut, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Ujang Wisnu, mengatakan bahwa konflik tersebut terjadi karena ada wilayah yang beririsan antara wilayah manusia dengan wilayah satwa. Ada kepentingan antara satwa dan kepentingan manusia.
“Sebenarnya memang lintasannya gajah, gajah tidak tahu menahu apakah di lintasan yang dilaluinya itu wilayah permukiman manusia atau bukan. Saat gajah mencari makanan, pakannya yaitu kebun masyarakat itu sendiri. Sehingga menimbulkan komunikasi negatif antara gajah dan manusia,” ujar Ujang Wisnu, dalam keterangannya kepada Pintoe.co.
Wisnu menyarankan agar sebaiknya dikembangkan komoditi yang berkesesuaian dengan aksi konflik. Seperti komoditi yang tidak disukai oleh gajah.
“Memang ada beberapa titik dengan tingkat konflik yang tinggi antar manusia dengan satwa liar, seperti di Pidie. Pada prinsipnya BKSDA setiap ada kejadian pasti merespon dengan baik. Tapi bicara konflik satwa liar tidak bisa hanya semata-mata dilimpahkan kepada kami. Perlu adanya kerja sama dan keterlibatan dari berbagai pihak,” ujar Wisnu.
Dirinya mengatakan akan memperkuat koordinasi bersama lintas eleman terkait, terutama bersama DPRA, Pemerintah Provinsi dan daerah guna memperkuat aturan terkait tentang pengelolaan satwa liar.
“Untuk saat ini koordinasi antara DPRA bersama BKSDA belum dilakukan. Namun, kami dari BKSDA sedang berupaya untuk menjalin koordinasi terutama bersama DPRA, Pemerintah Provinsi dan daerah, guna memperkuat aturan terkait tentang pengelolaan satwa liar hingga pada tahap implementasi,” ujar Wisnu.
Upaya-upaya mitigasi interkasi negatif manusia-satwa liar terus dilakukan dan disosialisasikan di lapangan.
Upaya mitigasi itu sendiri berupa, penanaman komoditi yang tidak disukai oleh gajah, pembangunan barrier fisik maupun vegetasi serta parit, pengkayaan pakan yang disukai gajah di kawasan koridor di dalam areal konsesi, sehingga gajah tetap pada koridornya sendiri.
“Kita juga memiliki Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2019 tentang pengelolaan satwa liar yang kini masih tahap pembahasan,” ujar ujang.
Dirinya berharap melalui Qanun tersebut, dapat membuka ruang kolaborasi dengan berbagai pihak serta Qanun tersebut dapat diimplementasikan dari tingkat Provinsi hingga daerah dalam mengambil langkah mitigasi pengelolaan konflik manusia dan satwa liar.[]