Aiko Kurasawa: Perempuan Jepang yang Berani Mengungkap Berbagai Kekejaman Jepang di Indonesia
Aiko Kurasawa dipuji orang Indonesia, tetapi dicela sebagian orang-orang tua Jepang.
Aiko Kurasawa dan buku barunya | Sumber: Tempo
Ketika meletus peristiwa G30S pada 1965, stasiun-stasiun televisi Jepang menyiarkan kabar betapa mengerikannya situasi di Indonesia.
Sukarno, pemimpin karismatik Indonesia yang dekat dengan Jepang, sedang dilengserkan secara keras.
Masyarakat Jepang waktu itu juga menjadi “saksi jauh” atas pembunuhan massal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Berita-berita pembantaian dan kudeta di Indonesia bukan cuma diikuti orang-orang Jepang yang sudah dewasa. Anak-anak muda Jepang juga tertarik menyimak perkembangannya. Salah satunya ialah gadis muda bernama Aiko Kurasawa.
Waktu itu, Aiko Kurasawa baru tamat SMA. Ia merupakan gadis Jepang yang mengidolakan Sukarno. Baginya, Sukarno adalah “seorang Pahlawan Asia”. Sukarno juga cukup memesona karena salah satu istrinya adalah orang Jepang.
Oleh karena Peristiwa 1965 berdampak pada idolanya, Aiko Kurasawa betul-betul menaruh perhatian. Ia akhirnya harus melihat Sukarno jatuh dari kekuasaan dan tak pernah bisa bangkit lagi.
Begitu duduk di bangku kuliah, Aiko Kurasawa ingin memahami Indonesia secara lebih dalam. Ia ingin membuat penelitian tentang posisi Jepang dalam Peristiwa 1965 hingga tegaknya rezim Orde Baru. Waktu itu banyak peneliti Jepang kurang berminat dengan isu ini. Padahal Jepang memainkan peran penting dalam memuluskan lahirnya Orde Baru. Oleh karenanya, Aiko Kurasawa mulai belajar bahasa Indonesia demi mewujudkan cita-cita meneliti langsung di Indonesia.
Pada April 1972, gadis kelahiran 26 Juli 1946 itu akhirnya pergi ke Indonesia. Ketika tiba di Bandara Kemayoran (ditutup tahun 1985), Aiko Kurasawa segera bisa merasakan suasana tegang yang terpancar lewat gerak-gerik aparat keamanan.
Saat hendak meninggalkan bandara, Aiko Kurasawa tiba-tiba dicegat petugas yang mencurigainya. Ia dicurigai sebagai seorang komunis dari Tiongkok. Aiko kurasawa diinterogasi sambil kopernya digeledah.
“Saya mendapat kesulitan saat melewati meja pemeriksaan bea cukai. Koper saya yang penuh buku ternyata ditahan oleh petugas resmi dan saya harus menunggu satu minggu untuk memperolehnya kembali. Saya diberitahu kemudian bahwa mereka memeriksa teliti buku-buku saya itu yang tertulis dalam bahasa Jepang, dengan membandingkannya dengan aksara China. Mereka khawatir kalau-kalau yang mereka temukan di situ pesan-pesan bernada komunis,” kata Aiko Kurasawa dalam buku Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang (2015).
Setelah dibebaskan, Aiko Kurasawa masih harus menghadapi tekanan. Seorang staf kedutaan Jepang mengabari bahwa Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) hendak memeriksanya. Kabar ini membuat Aiko Kurasawa ketakutan.
Dari penelusuran yang dilakukan, Bakin memperoleh informasi bahwa Aiko Kurasawa pernah pergi ke Tiongkok pada 1968, dua tahun setelah G30S. Aiko Kurasawa mengakui kunjungan tersebut, tetapi menjelaskan bahwa kunjungannya sama sekali tak berhubungan dengan kegiatan politik apalagi komunisme. Ia pergi ke Tiongkok sebagai seorang pelajar untuk tujuan studi.
“Memang benar, saya berkunjung ke Tiongkok tahun itu sebagai a member of a student friendship group. Sekalipun saya sudah menggunakan paspor baru yang tidak memuat lagi catatan kunjungan ke Tiongkok, tapi intelijen Indonesia begitu luar biasa dalam bekerja sehingga mereka mampu mendeteksi sejarah perjalanan saya itu”, ungkap Aiko Kurasawa.
Beruntung dia bisa lolos dari investigasi pihak intelijen. Seorang warga Jepang di Jakarta yang dekat dengan ABRI berhasil meyakinkan petinggi militer bahwa Aiko Kurasawa bersih dari aktivitas gerakan komunis.
Setelah dua kejadian menegangkan itu, yakni penyitaan buku dan rencana investigasi oleh pihak intelijen Indonesia, Aiko Kurasawa tak jatuh mental. Malahan, ia menjadikan dua pengalaman itu sebagai sebuah temuan awal tentang kondisi Indonesia.
“Betapa para pejabat di Indonesia di masa itu sangat mewaspadai pengaruh komunis dari luar,” kata Aiko Kurasawa.
“Seandainya saya sempat diinterogasi dan dideportasi dengan alasan bahwa saya tidak melaporkan kunjungan ke Tiongkok pada saat mengisi aplikasi visa ke Indonesia, maka putuslah sudah kesempatan saya menjadi Indonesianis pada tahap awal itu,” ia mengenang.
Setelah lolos dari pemeriksaan, Aiko Kurasawa mulai berkeliaran di Indonesia untuk mewawancarai banyak saksi sejarah. Hasilnya, ia melahirkan sejumlah karya penting dan membuatnya kini menjadi seorang Indonesianis perempuan yang sangat dihormati. Ia berhasil membeberkan berbagai fakta sejarah tentang kejahatan militer Jepang atas rakyat Indonesia.
Hasil kerjanya itu dipuji di Indonesia, tetapi dicela di Jepang. Orang-orang tua Jepang yang merasa dirinya pahlawan saat menjajah Indonesia marah dengan hasil penelitian Aiko Kurasawa.
Dalam edisi 9 Maret 2015, majalah Tempo menerbitkan hasil wawancara dengan Aiko Kurasawa dalam artikel berjudul “Saya Sering Diteror Kaum Kanan Jepang”. Dalam wawancara tersebut, Aiko Kurawasa mengatakan bahwa orang-orang tua Jepang yang konservatif menyebut dia sebagai perempuan Jepang yang tak patriotis.
Akan tetapi, celaan itu tak membuatnya gentar. Aiko Kurasawa terus meneliti untuk membuktikan betapa kelamnya masa pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Bukti-bukti tentang itu salah satunya ia ungkap dalam buku Sisi Gelap Perang Asia: Problem Repatriasi dan Pampasan Perang (2019).
Dalam buku itu, Aiko Kurasawa mengkaji arsip-arsip Jepang yang belum pernah diselidiki atau terungkap ke publik.[]