Perayaan Hari Kemerdekaan India di Banda Aceh
Orang-orang India, terutama yang mualaf atau Muslim, sering membantu perjuangan rakyat Aceh.
Sejumlah pejabat asal India berfoto dengan orang-orang Aceh | Sumber: Teuku Alibasjah Talsya
Orang-orang India yang tinggal di Aceh tergabung dalam Persatuan Kebangsaan India Merdeka Keresidenan Aceh. Pada 11 Maret 1947, para anggota organisasi ini berkumpul dalam sebuah kongres di Banda Aceh untuk memilih ketua, menetapkan sikap politik, dan menyusun rencana kerja organisasi.
Dalam kongres tersebut, orang-orang India di Aceh sepakat memilih Jagir Singh sebagai ketua organisasi mereka. Mereka pun sepakat membuat acara perayaan hari ulang tahun kemerdekaan India di Banda Aceh.
Pada 15 Agustus 1947, perayaan yang dibayang-bayangkan akhirnya terwujud. Sebuah perayaan yang meriah digelar dengan mengundang para pejuang Indonesia. Jagir Singh membuka acara dengan pidato yang menjelaskan sejarah perjuangan bangsa India merebut kemerdekaan. India sendiri merdeka dari penjajahan Inggris pada 15 Agustus 1945, dua hari sebelum bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Perayaan tersebut juga dihadiri oleh orang nomor satu di Aceh, yakni Residen Aceh Teuku Daudsjah. Dalam pidatonya, Teuku Daudsjah gembira dengan kontribusi orang-orang India terhadap perjuangan rakyat Aceh dalam melawan penjajah.
“Bangsa Indonesia merasa berhutang budi kepada bangsa India yang membantu kami selama ini. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih,” hormat Teuku Daudsjah, sebagaimana dicatat Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Modal Perjuangan Kemerdekaan (1990).
Para perwakilan partai politik serta organisasi perjuangan di Banda Aceh kemudian secara bergiliran menyampaikan pidato berisi ucapan selamat kepada bangsa India. Mereka mengungkapkan harapan-harapan berlanjutnya kerja sama yang baik antara bangsa Indonesia dengan para keturunan India.
Selama Perang Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), orang-orang India, terutama yang Muslim, kerap membantu perjuangan rakyat Aceh. Salah satu yang mereka lakukan adalah dengan mencuri persenjataan milik militer Belanda untuk diserahkan kepada pejuang-pejuang Aceh. Sementara itu, para pedagang India mengumpulkan uang untuk disumbangkan kepada rakyat Aceh sebagai dana perjuangan.
Simpati kedua pihak sebetulnya saling berbalas. Saat mendengar kabar sedang terjadi krisis pangan di India, rakyat Aceh bersedia menyumbang 500.000 ton beras untuk membantu para korban kelaparan di negara tersebut. Petani-petani Aceh bersedia menyisihkan sebagian padi yang mereka panen untuk dikirim ke India.[]