Dampak Pengeboman Hiroshima-Nagasaki terhadap Aceh
Para prajurit Jepang di Aceh merasa lesu setelah mengetahui Hiroshima dan Nagasaki hancur akibat ledakan bom atom.
Nukum Sanany dan Takao Fusayama | Foto: Pintoe.co/Bisma Yadhi Putra
Berita ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki baru diketahui orang Aceh pada malam 10 Agustus 1945. Berita itu mulanya didengar oleh Nukum Sanany dan kawan-kawannya di siaran Radio Australia.
“Siaran itu menyatakan bahwa pada tanggal 6 Agustus 1945 Kota Hiroshima di Pulau Honsyu sudah dilumatkan oleh bom atom. Ini adalah bom atom pertama yang dijatuhkan Amerika. Bom atom yang kedua dijatuhkan di Nagasaki di pantai barat Pulau Kyushu tanggal 9 Agustus 1945. Sedangkan berbagai jenis bom lainnya telah dihujankan ke pusat-pusat militer dan industri di kepulauan Jepang,” kata Nukum Sanany, sebagaimana ditulis B. Wiwoho dalam Pasukan Meriam Nukum Sanany: Sebuah Pasak dari Rumah Gadang Indonesia Merdeka (1985).
Nukum Sanany adalah pemuda Aceh Timur yang tergabung dalam Angkatan Laut Tentara Jepang. Ia ditugaskan di kapal perang Jepang bernama Teng Go Saki Maru.
Usai ledakan bom atom itu, Kaisar Jepang Tenno Heika mengeluarkan maklumat pada 14 Agustus 1945 yang memerintahkan seluruh pasukan Jepang di negara mana pun agar menghentikan operasi militer. Prajurit-prajurit Jepang dilarang membuat perlawanan atau perang. Perintah ini dikeluarkan sebagai langkah awal menyerahnya Jepang dalam Perang Dunia II.
Kabar bom atom dan kekalahan Jepang berdampak besar di Aceh. Orang-orang Aceh yang bekerja di dinas dan instansi militer Jepang tidak masuk kantor. “Mereka diberitahu tidak perlu masuk kerja lagi, karena perang sudah selesai,” tulis Wiwoho, mengutip kesaksian Nukum Sanany.
Dampak pengeboman Hiroshima-Nagasaki di Aceh juga terungkap dari kesaksian seorang tentara Jepang yang pernah bertugas di Aceh, yakni Takao Fusayama. Ia merupakan salah satu komandan Jepang yang pernah bermarkas di Seulimeum dan Aceh Timur.
Dalam memoar Cinta dan Benci dalam Perang Kemerdekaan (Balai Pustaka, 1995), Fusayama menceritakan para prajurit Jepang di Aceh langsung lesu atau kehilangan semangat begitu mendengar kabar pengeboman serta perintah Kaisar Jepang tersebut. Perasaan mereka campur aduk: marah, kecewa, putus asa, bingung, dan takut.
Di antara itu semua, yang paling kentara adalah rasa takut. Para komandan pasukan Jepang takut rakyat Aceh menggelar serangan besar-besaran sebagai aksi balas dendam terhadap pasukan Jepang yang sedang jatuh mentalnya.
Aksi balas dendam itu sangat mungkin terjadi. Sebelum pengeboman Hiroshima-Nagasaki, tentara Jepang di Aceh memaksa penduduk membangun benteng pertahanan secara buru-buru. Mereka memukuli orang-orang Aceh yang terlihat bermalas-malasan di lokasi pembangunan.
“Ditambah lagi ada banyak pohon kelapa milik orang Aceh yang ditebang paksa untuk pemenuhan kebutuhan material pembangunan benteng. Padahal pohon-pohon kelapa itu sangat berharga bagi penduduk secara ekonomi,” tulis Fusayama dalam memoarnya.
Waktu berita kekalahan Jepang mulai tersebar luas di Aceh, Fusayama sedang di Medan. Ia takut kawan-kawannya di Seulimeum disembelih oleh penduduk yang dendam. Dalam keadaan panik, Fusayama tergesa-gesa berangkat ke Aceh, siang dan malam menyetir mobil sendirian.
“Segera setiba saya di Seulimeum, saya mengetuk pintu komandan resimen dan menganjurkan kepadanya untuk mengumpulkan pasukan-pasukan kecil yang terpencar di sepanjang pantai guna membentuk benteng-benteng pertahanan. Hal itu saya usulkan oleh karena saya khawatir akan keributan yang bisa terjadi di kalangan orang Aceh yang terkenal akan kebrutalannya, bila mereka tahu kekalahan Jepang,” ungkap Fusayama.
Untuk menghindari konflik dengan rakyat Aceh, para prajurit Jepang kemudian ditarik ke Sumatra Utara dan menjadi tawanan pasukan Sekutu. Fusayama dan kawan-kawan ditempatkan di sebuah perkebunan. Mereka hanya bisa makan sedikit nasi karena jatah makanan dibatasi. Untuk mencukupi kebutuhan, para prajurit Jepang yang tengah bersedih diajak menaman sayur-sayuran oleh komandan mereka.
“Sebagaimana biasanya, pada pagi hari saya mencangkul bersama tentara saya di kebun dan makan siang sesusah mandi dengan air dingin. Kami dengan tenang mencangkul di bawah terik matahari tropis yang membakar. Kami mencangkul dengan keringat yang mengalir hanya untuk menghidupi diri, di daerah pedalaman Sumatra, beberapa ribu kilometer jaraknya dari daerah asal kami,” kata Fusayama.
Dalam situasi itu, para prajurit mulai rindu dengan kampung halamannya. Mereka ingin kembali ke Jepang untuk menemui keluarga masing-masing dengan harapan keluarganya selamat dari ledakan dua bom atom serta pengeboman lainnya. Melihat prajuritnya hanyut dalam sedih dan rindu, Fusayama coba menenangkan mereka: “Meskipun kita tidak tahu kapan kita dapat pulang, biarlah kita menjaga kesehatan kita”.
Sambil menunggu panen, Fusayama dan kawan-kawannya menyantap rumput-rumput liar yang mereka ambil dari sungai. “Untunglah pertumbuhan sayur-sayuran di Sumatra cepat,” kenang Fusayama.
Daun-daun sayur segar yang dipanen disantap bersama sesudah dimasak dengan sup kecap. Makanan ini memulihkan tenaga dan semangat mereka. “Dengan demikian, kami berangsur-angsur mulai terlepas dari keadaan tidak berdaya yang kami alami segera setelah kami keluar tanpa semangat dari Provinsi Aceh ke perkebunan ini,” cerita Fusayama.[]