“Bagi saya, menggunakan bahasa Jawa merupakan penderitaan,” kata Pram.

Pramoedya Ananta Toer Benci Bahasa Jawa

Pramoedya Ananta Toer | Foto: Maya Pejic (Arsip IISG Amsterdam, BG K93/37)

Mastoer Imam Badjoeri adalah orang Jawa. Oemi Saidah juga orang Jawa. Namun, pasangan suami-istri ini dikaruniai anak pertama yang ketika dewasa cukup keras menentang kebudayaan Jawa. Nama anak itu adalah Pramoedya Ananta Toer.

Pram mengungkapkan kejijikannya terhadap Jawanisme dalam wawancara dengan André Vltchek (meninggal tahun 2020 di Turki) dan Rossie Indira. Catatan hasil tanya jawab itu kemudian dibukukan dengan judul Saya Terbakar Amarah Sendirian! (2006).

Anti-Jawanisme tumbuh dalam sanubari Pram lantaran represi berulang dan panjang yang melukai kehidupannya. Dia menderita oleh perlakuan para kolonialis Belanda dan Jepang. Dan setelah negaranya merdeka, dia disiksa Orde Baru. Menurut Pram, dua rezim ini bisa bebas sewenang-wenang karena watak orang Jawa.

Orang Jawa, kata Pram, hidup dengan memegang teguh ajaran bahwa setiap penguasa harus ditaati apa pun keinginan atau perintah mereka. Watak taat secara membabi buta inilah yang Pram sebut dengan “Jawanisme”.

“Jawanisme adalah taat dan setia kepada atasan yang akhirnya menjurus kepada fasisme. Kita namakan fasisme Jawa saja, ya. Dan sistem ini tumbuh dan berkembang dengan sangat subur pada masa Soeharto,” kata Pram dalam wawancara itu.

Ungkapan “fasisme Jawa” ia maknai sama dengan Jawanisme. Orang-orang yang hidup dengan ajaran Jawanisme tidak memikirkan pihak lain sama sekali, kecuali pihak penguasa. 

Itulah yang membuat Pulau Jawa dahulu mudah dijajah selama berabad-abad. Kaum elite Jawa berkolusi dengan penjajah yang datang memburu rempah-rempah. Begitu menjadi teman para penjajah, kaum elite ini menekan rakyatnya, sesama orang Jawa.

“Rakyat tidak berani menentang kaum elitenya maupun para penjajah, dan Jawa jatuh ke tangan penjajah itu tanpa perang. Para pemimpin kita semua tidak punya moral. Dan sejak itu tidak ada yang berubah,” Pram mengkritik.

Pram mencontohkan pemanfaatan Jawanisme oleh tentara Jepang dalam mobilisasi penduduk untuk program kerja paksa. Setiap kepala desa disuruh mengerahkan warganya untuk menjadi rômusha (buruh kerja paksa). Sebagai atasan warga, kepala desa diyakini tak bakal dilawan perintahnya. Hasil dari ketidakberanian melawan ini tragis: ribuan rômusha mati di tempat kerja mereka.

“Tetapi orang masih saja nurut sama kepala desanya, walaupun kepala desa itu menerima sogokan dari tentara Jepang. Saya tahu benar tentang hal ini. Dan ini adalah contoh dari Jawanisme, suatu hukum yang tidak tertulis yang mengatakan bahwa perintah atasan harus selalu dipatuhi,” ungkap Pram.

Bukan saja membuat bangsa rentan dijajah, Jawanisme juga Pram tuduh sebagai falsafah yang telah merusak keadaban dan kemanusiaan bangsa Indonesia. Konteks sejarah untuk pandangan ini adalah Peristiwa 1965, masa ketika serdadu-serdadu Indonesia bersama sebagian besar sipil patuh begitu saja pada perintah petinggi militer untuk membantai siapa pun yang mereka anggap komunis. Para pelaku pembunuhan massal itu tak pernah diadili.

“Mengapa sampai sekarang tidak ada tuntutan atas peristiwa di tahun 65 itu? Karena kehendak atasan,” cela Pram.

André Vltchek dan Rossie Indira lantas bertanya kepada Pram: “Dalam kehidupan pribadi, apakah Bung pernah melawan Jawanisme ini? Apakah Bung pernah melawannya di dalam keluarga Bung sendiri, dengan mendorong anggota keluarga berperilaku berbeda dari kebanyakan masyarakat?”

Pram menjelaskan, salah satu cara ia melawan Jawanisme adalah dengan menolak menggunakan bahasa Jawa di rumah atau dalam komunikasi keluarga. Bahasa Jawa dinilai sangat hierarkis, bertingkat-tingkat, dan diciptakan untuk memuliakan atasan. Ketika keharusan memuliakan ini diterjemahkan ke dalam politik, lahirlah fasisme Jawa.
 
Bahasa Jawa di mata Pram telah memilah manusia ke dalam dua golongan, yakni “yang terhormat” dan “yang menghormati”. 

Orang yang tak berkuasa harus menampakkan sikap tunduknya kepada orang yang berkuasa lewat cara berbahasa. Sebagai sosok yang puluhan tahun dikasari kekuasan, Pram tidak tahan menjadi bagian dari pemilahan manusia seperti ini.

“Bagi saya, menggunakan bahasa Jawa merupakan penderitaan,” kata Pram.

Hanya saja, ia memberikan kebebasan kepada istri, anak, sampai cucu-cucunya untuk menggunakan atau tidak menggunakan bahasa Jawa. Pram tidak memaksa karena paksaan akan membuatnya jadi pemimpin keluarga yang mempraktikkan Jawanisme atau fasisme Jawa. Pram membiarkan semua anggota keluarganya bebas menentukan pilihan, asalkan bertanggung jawab atas pilihan hidup masing-masing.

Pram memandang pembusukan yang diciptakan oleh Jawanisme hanya bisa diakhiri oleh generasi muda. Ia mengajukan sebuah gagasan keras: “Dalam beberapa ratus tahun terakhir ini, Jawa menguasai semuanya. Menurut pendapat saya, angkatan muda harus menciptakan kebudayaan baru. Lupakan budaya lama. Memang menyakitkan kalau dikatakan seperti ini, tapi inilah yang benar. Agar bisa mengubah kebudayaan, orang harus berani”.[]
 

pramoedyaanantatoer sayaterbakaramarahsendirian  andrévltchek rossieindira definisijawanisme