Mohammad Roem, Bawahan Sukarno yang Peduli Korban Anjing Gila
Penderita rabies di Aceh atau Papua, misalnya, perlu ongkos transportasi ke Lembaga Pasteur di Bandung.
Mohammad Roem
Suatu ketika, Menteri Dalam Negeri Mister Mohammad Roem mendapat laporan bahwa di berbagai daerah banyak orang miskin kena rabies akibat gigitan anjing gila. Sudah disengsarakan kemiskinan, menderita pula karena digigit asu edan.
Kebanyakan korban disebut tak punya uang untuk mengobati penyakit segawat rabies. Karena itulah beberapa pihak mengusulkan agar negara hadir untuk menanggung biaya pengobatan mereka.
Usulan itu disampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri. Untunglah waktu itu lembaga ini dipimpin oleh seorang tokoh yang susah ketika melihat orang lain susah. Roem merasa pemerintah perlu cepat bertindak sebelum para korban gigitan anjing gila tambah kesakitan.
Roem kemudian memperjuangkan tersedianya anggaran untuk menolong orang-orang miskin yang digigit anjing gila. Secepatnya penganggaran itu harus rampung, biar para korban segera tertolong nyawanya. Ia mengadakan rapat bersama Jawatan Perjalanan Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial untuk membahas hal ini.
Pada 24 November 1952, Roem menyurati Kementerian Keuangan untuk meminta penetapan anggaran sambil menjelaskan duduk perkaranya. Dalam surat bernomor B.K.2/79/20 yang ditujukan kepada Menteri Keuangan, Roem mengatakan: "Pada Kementerian kami dari beberapa daerah diadjukan permintaan uang persediaan guna membiajai pengiriman orang2 jang digigit andjing gila (beserta pengantarnja) oleh karena mereka tidak atau kurang mampu memikul ongkos pengangkutan maupun dari rumah sakit ditempat itu ke Instituut Pasteur di Bandung untuk berobat".
Lembaga Pasteur (sekarang Bio Farma) memang tempat terbaik untuk mengobati akibat gigitan anjing gila pada masa tersebut. Institut yang berdiri pada 1895 di Bandung ini punya riwayat gemilang yang panjang dalam menangani penyakit rabies serta macam-macam penyakit mematikan lainnya seperti kolera dan tetanus.
Sebetulnya, Lembaga Pasteur sejak lama telah menggratiskan biaya pengobatan kepada orang-orang yang digigit anjing gila. Kepada para pasien juga diberikan tempat tinggal dan makanan secara cuma-cuma. Dan hal ini diterangkan oleh Roem dalam suratnya kepada Menteri Keuangan.
Masalahnya, berobat bukan cuma soal uang untuk membeli obat. Yang juga mesti dimiliki adalah biaya perjalanan ke tempat berobat. Di Lembaga Pasteur obatnya memang gratis, tetapi orang-orang miskin di Aceh atau Papua perlu ongkos transportasi agar bisa sampai ke sana untuk memperoleh pengobatan gratis.
Setelah para pejabat di kementerian-kementerian itu berembuk, solusi akhirnya disepakati. Pada 8 Juli 1953, diputuskan bahwa orang-orang miskin di seluruh Indonesia yang menjadi korban gigitan anjing gila akan ditanggung biaya perjalanannya ke Lembaga Pasteur di Bandung. Hal ini diatur dalam Surat Edaran Nomor B.K.2/51/45 perihal “Biaja Pengiriman Orang2 jang Digigit Andjing Gila”.
Kebijakan itu boleh dibilang amat komplet. Selain menyediakan biaya perjalanan dari rumah ke rumah sakit daerah, pemerintah juga akan menanggung ongkos perjalanan dari rumah sakit daerah ke Lembaga Pasteur. Perjalanan pulang dari Lembaga Pasteur ke kampung halaman juga ditanggung pemerintah.
Korban gigitan anjing gila yang pergi ke rumah sakit atau dokter terdekat akan diganti ongkos perjalanannya oleh Kementerian Dalam Negeri.
“Ongkos perdjalanan setempat sampai dirumah sakit atau dokter jg memerintahkan pengiriman ke Instituut Pasteur di Bandung diberatkan pada Anggaran Kementerian Dalam Negeri,” tulis Menteri Dalam Negeri dalam surat keputusannya.
Dengan penganggaran seperti itu, Roem ingin membuat orang-orang miskin korban gigitan anjing gila tak jadi gila lantaran frustrasi memikirkan biaya berobat yang teramat mahal.
Arsip surat edaran Kementerian Dalam Negeri tentang pembiayaan perjalanan orang-orang yang digigit anjing gila ke Lembaga Pasteur di Bandung