Pada 20 Mei 1948, upacara serta perayaan Harkitnas ke-40 berlangsung cukup meriah di seluruh Aceh.

Perayaan yang Hilang: Beda Peringatan Harkitnas di Aceh Dahulu dan Sekarang

awai Perayaan Harkitnas di Banda Aceh Tahun 1949. Gambar diambil dari buku "Sekali Republiken Tetap Republiken" (T. A. Talsya, 1990).

PINTOE.CO -  Ada satu perayaan bersejarah yang sudah “hilang” di Aceh. Dahulu, setelah kemerdekaan Indonesia, orang Aceh dengan penuh suka cita beramai-ramai turun ke jalan untuk memperingati Hari Pergerakan Nasional, atau yang saat ini populer dengan istilah Harkitnas: Hari Kebangkitan Nasional.

Pada 20 Mei 1948, upacara serta perayaan Harkitnas ke-40 berlangsung cukup meriah di seluruh Aceh. Ada pawai, pertemuan akbar, kegiatan sosial, hingga hiburan rakyat berupa pameran-pameran serta lomba kesenian.

Di halaman Masjid Raya Baiturrahman (MRB), ribuan nasionalis dari Banda Aceh maupun Aceh Besar berkumpul untuk mendengarkan ceramah-ceramah politik. Dari atas mimbar, Wakil Jawatan Penerangan Aceh A. Moe’thi menjelaskan mengapa 20 Mei diperingati sebagai Harkitnas.

Dia bercerita, dahulu pada 20 Mei 1908 para pemuda dari berbagai daerah berkumpul di Jawa lalu membentuk Budi Utomo. Organisasi ini berperan dalam menyalakan obor kesadaran bangsa melalui kegiatan-kegiatan pendidikan.

Perempuan Aceh turut ambil bagian dalam rapat raksasa itu. Setelah Moe’thi, mimbar dinaiki oleh Nyonya Chadidjah Jacob Siregar. “Sampai di tahun kemerdekaan kita, kaum wanita terus melanjutkan perjuangannya!” seru Chadidjah, sebagaimana dicatat Teuku Alibasjah Talsya dalam Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1947-1948: Buku II (1990).

Usai acara di MRB, kaum perempuan yang terhimpun dalam Gabungan Organisasi Wanita melaksanakan kegiatan sosial dengan mengunjungi rumah pejuang-pejuang Aceh yang baru dibebaskan Belanda dari penjara di Sabang. Mereka makan-makan bersama setelah di-peusijuek.

Mewakili para bekas tahanan, Kapten Agoes Hoesin berpidato menyampaikan rasa terima kasih atas perhatian yang diberikan kaum perempuan di Aceh.

Di bidang kesenian, perayaan Harkitnas 1946 di Aceh dimeriahkan dengan lomba menulis syair. Total enam puluh naskah syair diterima dewan juri yang terdiri dari Ali Hasjmy, Amelz, Tuanku Hasjim, Karim Doerjat, dan Nyonya Teuku Ali. Syair berjudul “Abadi Nyala” gubahan T. A. Talsya terpilih sebagai juara pertama dengan hadiah uang tunai sebesar f3.000.

Pada 20 Mei 1949, Harkitnas kembali dirayakan di seluruh Aceh. Sipil dan militer berkumpul bersama. Gubernur Militer Daud Beureueh turut memeriahkan pegelaran yang dibuat di Banda Aceh.

Dalam pidatonya, Daud Beureueh mengajak semua orang menjaga semangat perjuangan agar jangan sampai padam. Api yang dinyalakan tokoh-tokoh bangsa di masa lampau jangan sampai padam.

Sejak saat itu, Harkitnas terus diperingati sampai sekarang. Akan tetapi, peringatannya tak semeriah dahulu. Sekarang, peringatan Harkitnas hanya berlangsung di tempat-tempat terbatas seperti kantor pemerintah atau sekolah. Harkitnas di Aceh saat ini lebih banyak diperingati orang-orang berseragam.[]

harkitnas harikebangkitannasional aceh sejarahaceh pinto beritaaceh