Ditangkapnya Si Raja Judi Lhokseumawe
Salah satu anak buah Ahok menembak anggota kepolisian dari Polsek Banda Sakti yang menggerebek gudangnya.
Spanduk tempat penjualan kupon KSOB | Foto: Instagram @antikpraveda/Bambang Wibowo
Ahok yang ini bukan sembarang Ahok. Ini Ahok punya uang banyak. Anak buahnya puluhan orang, termasuk dari kalangan tentara. Namanya tenar di mana-mana. Para pemain judi di kawasan Aceh Utara hormat kepadanya.
Ahok dapat banyak uang dari hasil berjualan Kupon Seleksi Olahraga Berhadiah (KSOB) dan Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB). Kedua kupon ini merupakan judi bola yang dilegalkan negara melalui SK Menteri Sosial Nomor 29/BSS/1988 tentang Petunjuk Penjualan KSOB dan TSSB.
Di kupon tersebut terdapat nama klub-klub yang akan bertanding di Liga Sepak Bola Utama (Galatama). Melalui kupon itu, orang-orang akan menebak hasil akhir pertandingan: menang, seri, atau kalah. Bahkan ada juga taruhan untuk tebakan skor babak pertama. Kupon-kupon yang tebakannya benar kemudian diundi. Orang yang nomor kuponnya keluar saat pengundian akan dapat hadiah uang tunai.
Pemerintah menyelenggarakan judi resmi ini untuk meraup uang yang bakal dipakai untuk dana pembinaan olahraga nasional. Hanya saja, pemerintah tak menyebutnya “judi” melainkan “undian” atau “lotre”. Tetapi bagi Ahok, terbinanya olahraga adalah nomor sekian. Yang penting buat dia adalah dapat laba sebanyak-banyaknya. Maka pada Februari 1988, Ahok mulai bekerja sama dengan PT Pancanusa Bhaktitama, sebuah perusahaan di Medan yang menyuplai kertas-kertas kupon judi KSOB dan TSSB ke Aceh.
Untuk mengedarkan kupon yang jumlahnya ribuan, laki-laki gemuk berlemak dengan nama asli Haryono itu tak bekerja sendirian. Sebagai bos besar, Ahok punya tiga puluh anak buah. Dengan jumlah anak buah sebanyak itu dia bisa menjual kupon sampai ke pelosok-pelosok desa. Ahok bukan cuma bandar judi di kawasan kota.
Setiap hari, kupon Ahok laris manis. Hebatnya lagi, laba bersih yang dia peroleh tetap melimpah meskipun harus mengupah tiga puluh anak buah serta memberikan “uang rokok” rutin untuk seorang tentara.
Ditambah lagi, Ahok yang cerdik turut menjadi bandar judi buntut seraya berbisnis kupon KSOB dan TSSB. Uang masuknya datang dari kiri-kanan, dari yang legal maupun yang ilegal. Pihak kepolisian kota mulai mencium ada bisnis ilegal (judi buntut) di balik penjualan kupon legal yang dilakukan Ahok.
Ahok tidak takut polisi. Dia punya backing bernama Sutrisno, seorang tentara berpangkat pratu di Korem Lilawangsa Lhokseumawe. Sehari-hari, Sutrisno bertugas sebagai pengemudi perbekalan angkutan.
Sutrisno memberikan jasa pengamanan kepada Ahok dan bisnis ilegalnya. Sebagai imbalan atas jasa tersebut, Sutrisno setiap minggu mendapat setoran dari masing-masing anak buah Ahok yang jumlahnya 30 orang itu. Besaran uang yang ia dapat adalah lima persen dari total penjualan kupon. Misalnya, kalau dalam satu minggu seorang anak buah Ahok mendapat uang sebanyak Rp100.000, berarti ia wajib menyetor Rp5.000 kepada Sutrisno. Dikali 30 orang, maka dalam satu minggu Sutrisno mengantongi Rp150.000. Uang segini pada era 1980-an masih cukup besar nilainya.
Sutrisno perlu uang kotor dari judi buntut karena gajinya cuma Rp60 ribu per bulan, ditambah uang makan Rp1.500 per hari. Jumlah ini tak cukup membiayai kebutuhan orangtua serta saudaranya di Palembang. Belum lagi, ia mengepalai sebuah keluarga dengan seorang anak.
Sebagai pelindung Ahok, Sutrisno tak pernah ragu menghantam pihak-pihak yang mengusik majikannya. Suatu hari, tiga anggota Polsek Banda Sakti ditugaskan menggerebek gudang Ahok di Tumpok Teungoh, Lhokseumawe. Waktu mereka menyita barang bukti kejahatan Ahok dari gudang tersebut, Sutrisno datang dan langsung menembak seorang polisi bernama Wizmar dari jarak dekat.
“Sutrisno mencabut pistol FN 46 dari pinggangnya, lalu menembak dari jarak 30 cm. Pistol itu disewa Sutrisno dengan uang Rp 10ribu dari Sertu A. Gani Alibasyah, anggota Kodim Lhokseumawe. Pelurunya mengoyak bahu kiri Wizmar, tembus ke belakang,” tulis majalah Tempo edisi 7 Januari 1989.
Setelah Sutrisno dijatuhi hukuman penjara oleh Korem Lilawangsa, Ahok kehilangan pelindung. Pada 12 April 1988, pihak kepolisian langsung menyerbu gudang dan kediaman Ahok. Kali ini, operasi dipimpin langsung Kapolres Aceh Utara Doyot Sudrajat. Barang bukti 530 blok kupon disita. Namun setelah diselidiki, 530 ini hanyalah sisa dari 2.800 blok kupon yang dikirim PT Pancanusa kepada Ahok tiga hari sebelum penangkapan. Sebagian besar kupon telah terjual di Aceh Utara.
Pangeran Siregar, hakim yang mengadili Ahok, akhirnya menjatuhkan hukuman 50 hari penjara. Vonis ini dikritik publik. Dan Pangeran menangkis kritik tersebut dengan logika: dipenjara 5 hari, 50 hari, atau 50 tahun sama saja. “Sehari pun dipenjara, kan, tak enak,” kilah Pangeran sebagaimana dikutip Tempo.
Di tengah heboh kasus Ahok, demonstrasi-demonstrasi antijudi muncul di sejumlah tempat. Para ulama dan santri ramai-ramai turun ke jalan memprotes maraknya perjudian. Protes kian keras manakala ditemukannya tulisan surat Al-Baqarah ayat 222 dalam kertas-kertas kupon yang beredar (“Ada Ayat di dalam Kode”, Tempo, 12 November 1988).
Tak jelas mengapa Al-Baqarah 222 yang tertulis di kupon. Ayat ini memuat larangan menyetubuhi istri yang sedang haid. Dan yang jelas pelakunya bukan Ahok, sebab ia cuma bandar di tingkat lokal, bukan produsen atau pencetak kupon.
Para pengunjuk rasa menuntut pihak yang membuat kupon dihukum. Mereka berkonvoi ke berbagai tempat untuk mengecam penistaan Al-Quran serta mengajak masyarakat menjauhi semua bentuk judi. Di sepanjang jalan, mereka melantunkan surat Al-Ma’idah ayat 90-91: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung” (90). Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti? (91)”.
Bacaan ayat ini terdengar jelas karena dinyaringkan dengan pengeras suara. Hanya saja, judi itu seperti kesenangan-kesenangan lain. Sulit dilenyapkan. Apalagi kalau judinya dilegalkan negara.