Selamat Jalan Di...
ENTAH berapa puluh kali saya menulis kepergian sahabat, legenda olahraga, dan tokoh dengan judul Selamat Jalan. Hari ini, saya kembali menuliskannya untuk adik, sahabat, dan .... Abdi Satria.
Almarhum Abdi Satria
Oleh M. Nigara
Wartawan Olahraga Senior
ENTAH berapa puluh kali saya menulis kepergian sahabat, legenda olahraga, dan tokoh dengan judul Selamat Jalan. Hari ini, saya kembali menuliskannya untuk adik, sahabat, dan .... Abdi Satria.
"Nanti kalau Bang Nig yang pergi, saya yang nulis," begitu tulisnya sambil mengirimkan jejak tulisan saya soal kepergian Verawaty Fajrin beberapa waktu lalu.
Tapi, Allah berkehendak lain. Saya dengan perasaan tak menentu, kembali harus menuliskan: Selamat Jalan Di...
Abdi bagi saya bukan sekedar wartawan biasa. Dia sudah seperti adik dan keluarga bukan hanya bagi diri saya sendiri, tapi bagi istri dan anak-anak saya.
"Nig, cari mahasiswa dari Makassar buat kita jadiin koresponden," begitu perintah Mas Sumohadi Marsis (SM), senior yang mengajak saya pindah dari Majalah Olympic ke Kompas, 1981 dan memastikan saya sebagai punggawa BOLA yang kebetulan terlahir sama dengan tanggal lahir saya, 3 Maret 1984.
Sama seperti Hardimen Koto (Padang), Roosyudhi (Surabaya), Broto Happy dan Sigit (Solo). Khusus Sigit, peran Kang TD. Asmadi sangat lekat. Meski beliau belum bergabung dengan BOLA saat itu, tapi Sigit sepertinya merupakan mahasiswa binaan Kang TD. Asmadi. Kelimanya kemudian menjadi garda terdepan BOLA di daerah masing-masing.
Ketika itu, saya hanya wartawan biasa, tapi karena liputan khusus saya di sepakbola nasional sejak Desember 1979, Mas SM, begitu sapaan untuk Mas Sumo, Pemimpin Redaksi tabloid BOLA, saya seperti diberi 'kuasa penuh'.
Abdi saat itu masih kuliah di FISIP UNHAS dan baru lulus 1988. Ia bergabung secara formal ke BOLA mulai 1986. Abdi termasuk wartawan muda yang sangat rajin, energik, dan sangat ramah. Berbeda dengan kebanyakan sahabat-sahabat saya dari Makassar, Abdi justru seperti mahasiswa dari Jogja.
Di luar dugaan, ketika saya cabut dari BOLA, Mei 1994, Abdi tanpa jeda menyatakan: "Saya ikut bang Nig!" Ada rasa haru di dada saya, BOLA milik Kompas, jaminannya sudah pasti dan sangat luar biasa. Abdi berani mengambil resiko yang tidak kecil.
Benar, Nirwan Bakrie adalah pengusaha besar, tapi Media GO yang saya rancang bersama Bramono, saat itu belum tentu jalan. Sekali lagi, Abdi berani mengambil resiko. "Saya percaya, Allah tidak membiarkan Bang Nig," tukasnya.
Sejak Juni 1994, Media GO hadir dan Alhamdulillah hanya dalam delapan bulan kami bisa _break even point_. Dan ketika Bakrie Media Nusatama (BMN) mengambil-alih Nusa di Bali, Abdi pun ikut ke sana. Terakhir ketika BMN juga mengambil Berita Buana, Abdi pun ikut bergabung.
Tidak hanya itu, ketika Abdi memilih calon istri Abdi pun tak jauh-jauh, Ani yang kemudian menjadi istrinya adalah sekertaris saya di BMN.
Kepercayaan dan keyakinannya dalam melangkah, sangat luar biasa. Abdi juga terbilang sangat sehat, tubuhnya pun sangat atletis. Selintas seperti tak memiliki sakit apa pun.
Dua bulan silam, Abdi menelpon saya: "Bang Nig, saya di Jakarta nih," katanya.
Saya kebetulan sedang tak berada di Jakarta. Itulah komunikasi saya terakhir dengan adik, sahabat, dan rekan kerja yang baik.
Kemarin, saya diberitahu Abdi berpulang. Sungguh, kaget bercampur tak percaya. Abdi sehat, kuat, dan baiknya luar biasa. Tapi, ketika waktu 'kontrak' dari Illahi telah berakhir, bukan hanya Abdi, kita dan siapa pun tak bisa menolaknya.
Sejak kita lahir, hanya satu yang sesungguhnya kita tuju dalam hidup ini, mati dan kematian. Kita boleh tidak percaya, kita boleh juga takut, kita boleh juga berani, dan kita pun boleh tak perduli. Mati dan kematian itu, pasti datangnya.
Di, ternyata sayalah yang menuliskan: Selamat Jalan Adikku, sahabatku, rekan kerjaku. Semoga Allah ampuni khilafmu, Allah terima iman islammu, Allah tempatkan engkau di SisiNya lewat limpahan rahmatNya, aamiin.