PBB Gagal Selamatkan Palestina
PBB menghadapi kendala besar dalam mengatasi veto oleh negara-negara besar. Dalam kasus Palestina, Amerika sering kali menggunakan veto untuk melindungi kepentingan Israel.

Ilustrasi (MI)
PINTOE.CO - Konflik antara penjajah Israel dengan rakyat Palestina telah merenggut banyak korban jiwa. Orang dewasa, anak-anak, hingga bayi sudah ribuan yang terbunuh akibat kekejaman Israel. Kekerasan yang tak berkesudahan ini telah menciptakan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Di tengah tragedi yang terus berlangsung, banyak pihak berharap kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjadi penengah yang adil dan membantu Palestina meraih kemerdekaan. Namun, hingga kini, langkah-langkah PBB sering kali tidak membawa hasil konkret dan menimbulkan pertanyaan mengapa PBB selalu gagal?
Menurut Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia, Julliand, mandat PBB sangat bergantung pada kesepakatan negara-negara anggotanya.
"PBB beranggotakan 193 negara. Apa yang kami lakukan sebagai perwakilan PBB, mandat, tindakan kami ditentukan oleh negara-negara anggota," kata Julliand seperti dikutip dari Media Indonesia pada Jumat, 29 November 2024.
Dewan Keamanan PBB, sebagai badan tertinggi yang bertanggung jawab menjaga perdamaian internasional, juga kerap gagal mencapai kesepakatan bersama. Hal ini disebabkan oleh hak veto lima anggota tetapnya, termasuk Amerika Serikat, yang sering memblokir resolusi terkait Israel.
Perlu diketahui bahwa keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menyelesaikan konflik Israel dan Palestina dimulai dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB 181 pada tahun 1947.
Resolusi ini mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara, satu untuk orang Yahudi dan satu untuk orang Arab, tetapi rencana ini gagal menghentikan konflik.
Sejak itu, PBB telah mengeluarkan berbagai resolusi, baik melalui Dewan Keamanan maupun Majelis Umum, untuk mengupayakan penyelesaian konflik yang berlarut-larut ini.
Beberapa resolusi penting dari Dewan Keamanan mencakup Resolusi 388 (1973), Resolusi 1402, dan Resolusi 2334, yang secara langsung menyoroti isu-isu seperti pendudukan wilayah, kekerasan, dan pemukiman ilegal Israel.
Majelis Umum juga turut mengeluarkan resolusi, seperti A/RES/ES-10/21, A/RES/77/208, dan A/RES/77/247, yang menyerukan penghormatan terhadap hak-hak Palestina serta solusi damai. Namun, resolusi-resolusi dari Majelis Umum ini bersifat imbauan dan tidak mengikat secara hukum, sehingga hanya memiliki kekuatan moral dan politik.
Dari berbagai upaya tersebut, terlihat bahwa PBB telah mencoba menjalankan perannya sebagai mediator. Namun, pengaruhnya terhadap Israel tetap terbatas. Konflik terus berlanjut tanpa tanda-tanda penyelesaian yang jelas.
Salah satu faktor utama ketidakadaan titik terang ini adalah keterbatasan kekuatan hukum dari resolusi Majelis Umum PBB, yang tidak dapat memberikan sanksi langsung terhadap Israel.
Di sisi lain, Dewan Keamanan PBB sering kali gagal mengeluarkan resolusi yang mengutuk tindakan Israel karena hak veto yang dimiliki oleh lima anggota tetapnya, termasuk Amerika Serikat.
Bahkan ketika resolusi mendapat dukungan mayoritas, veto dari satu negara cukup untuk membatalkannya. Akibatnya, Dewan Keamanan tidak mampu memberikan tekanan hukum yang tegas terhadap Israel.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyampaikan kritik keras terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena dianggap gagal membantu mendirikan kembali negara Palestina. Abbas menegaskan bahwa kegagalan ini sebagian besar disebabkan oleh tekanan dari Amerika Serikat.
"PBB tidak mampu menjalankan misinya untuk memberikan solusi atau mengadopsi resolusi yang menjamin hak rakyat Palestina untuk memiliki negara," ujar Abbas.
Abbas juga menyoroti krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Gaza. Ia mencatat bahwa sejak Oktober, lebih dari 40.000 orang tewas, sekitar 80.000 terluka, dan lebih dari 15.000 orang dinyatakan hilang.
Situasi ini diperparah dengan blokade Israel yang menghentikan pasokan listrik, air, makanan, dan kebutuhan lainnya. Meskipun bantuan kemanusiaan telah mulai masuk, jumlahnya masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan warga Gaza.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah mendesak adanya gencatan senjata kemanusiaan di Gaza. Bahkan dewan keamanan juga telah mengadakan beberapa pertemuan darurat untuk membahas serangan Israel. Meski begitu, upaya menyerukan jeda kemanusiaan di Gaza tetap gagal karena veto dari 'Negeri Paman Sam' itu.
Salah satu penyebab utama belum tercapainya penyelesaian konflik Israel dan Palestina adalah keterbatasan kekuatan hukum dari resolusi Majelis Umum PBB. Dirangkum dari IMEMC News selain faktor tersebut, berikut adalah penyebab lain kegagalan PBB dalam penyelesaian konflik ini sehingga menyulitkan kemerdekaan palestina.
PBB menghadapi kendala besar dalam mengatasi veto oleh negara-negara besar. Dalam kasus Palestina, Amerika sering kali menggunakan veto untuk melindungi kepentingan Israel, seperti saat menolak resolusi yang mengutuk pendudukan ilegal dan kekerasan terhadap warga Palestina. Hal ini menghambat kemampuan PBB untuk bertindak tegas.
Alih-alih menangani akar masalah, banyak upaya PBB terfokus pada krisis individual, seperti mengelola pengungsi melalui UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East) atau menyediakan bantuan kemanusiaan di Gaza. Pendekatan ini penting, tetapi tidak menyelesaikan inti persoalan, yaitu pendudukan dan hak kemerdekaan Palestina.
Meski PBB menyatakan bahwa pemukiman Israel di wilayah Palestina adalah ilegal, tidak ada sanksi serius yang dikenakan. Pelanggaran seperti pembangunan pemukiman baru dan blokade Gaza terus berlangsung tanpa konsekuensi nyata bagi Israel.
Pada dasarnya, meskipun PBB telah berupaya menyelesaikan konflik Israel dan Palestina melalui berbagai resolusi, ketergantungan pada hak veto dan sifat tidak mengikat dari hukum resolusi Majelis Umum, membuat organisasi ini tidak memiliki daya yang cukup untuk memaksa Israel menghormati hak-hak Palestina.[]