Waspada DBD, Sepanjang 2024 Lebih dari 1.000 Orang Indonesia Meninggal Dunia
Demam berdarah bisa mengakibatkan komplikasi berupa kerusakan organ, pendarahan internal, edema paru, efusi pleura, dan syok yang bisa berujung kematian.
Virus Dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti I Foto: Istimewa
PINTOE.CO - Ketua Umum Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (PERDOKI) Astrid B Sulistomo, menyebutkan ada lebih dari 1.000 orang Indonesia meninggal dunia karena Demam Berdarah Dengue (DBD) sepanjang 2024.
Hingga pekan ke-38 pada tahun 2024 ini, kasus kematian akibat DBD di Indonesia telah menyentuh angka 1.161 jiwa.
"Padahal 2024 saja belum berakhir, tapi kasus kematiannya sudah menyentuh seribu," kata Astrid dalam acara Sinergi Aksi Perusahaan Lawan Dengue di Hotel JW Marriot, Rabu, 20 November 2024.
Peningkatan juga terjadi pada jumlah pasien DBD sepanjang 2024. Pada 2023 lalu, kasus DBD tercatat sebanyak 114.720. Angka tersebut naik hingga pekan ke-38 tahun ini mencapai 197.396 kasus.
Daerah dengan penularan DBD tertinggi di Indonesia tersebar di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali.
Sementara di dunia, lebih dari 13 juta kasus demam berdarah terjadi pada tahun 2024, dengan angka kematian mencapai 8.500 jiwa.
Astrid mengaku pihaknya memang belum berhasil menangani kasus DBD dari tahun ke tahun. Berbagai pencegahan memang sudah dilakukan, salah satunya dengan melakukan 3M.
"Kita belum berhasil menangani DBD, kematian juga masih cukup tinggi dan penularan juga cukup tinggi," ujarnya dikutip dari CNN Indonesia, Jumat, 22 November 2024.
Dia menyebut DBD harus ditangani oleh semua orang, pemerintah, tenaga kesehatan, dan seluruh masyarakat.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono, mengingatkan agar masyarakat selalu waspada terhadap risiko penyakit DBD di musim hujan dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
"Masyarakat harus waspada terhadap genangan air. Barang-barang bekas yang memungkinkan genangan air sebaiknya itu dihilangkan dan dikurangi," kata Tri Yunis, seperti dikutip dari Antara, Jumat, 22 November 2024.
Miko menjelaskan demam berdarah biasanya mengalami peningkatan kasus pada awal dan akhir musim hujan.
Pada awal musim hujan, curah hujan yang tinggi menyebabkan genangan air yang ideal bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Namun, pada saat hujan berhenti atau berkurang maka nyamuk ini cenderung tidak dapat terbang jauh sehingga penyebarannya terbatas.
Sebaliknya, pada akhir musim hujan ketika curah hujan mulai berkurang, nyamuk kembali aktif dan dapat menyebar lebih luas.
Inilah mengapa puncak peningkatan kasus demam berdarah sering terjadi antara bulan November-Desember serta Maret-Juni.
Oleh karena itu, dia mengimbau masyarakat untuk waspada dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat dengan melakukan 3M, yaitu menguras tempat penampungan air, menutup tempat-tempat penampungan air, dan mendaur ulang berbagai barang yang memiliki potensi untuk dijadikan tempat berkembang biak nyamuk.
Untuk menurunkan kasus demam berdarah (DBD), menurut Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu diperlukan berbagai upaya atau intervensi yang dilakukan secara bersamaan.
"Tidak ada satu solusi tunggal yang bisa menyelesaikan masalah ini. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi vaksinasi, penerapan program 3M, serta penggunaan obat nyamuk. Semua harus digunakan," ujarnya.
DBD sendiri merupakan penyakit menularkan yang disebabkan oleh infeksi virus Dengue. Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Virus Dengue memiliki masa inkubasi dalam tubuh manusia selama 4-7 hari setelah paparan hingga timbul gejala.
Kementerian Kesehatan (Kemkes) RI menyebut beberapa tanda dan gejala DBD, yaitu mendadak demam tinggi, sakit kepala, nyeri pada tulang dan otot, timbul bercak kemerahan, hidung berdarah, sakit di belakang mata, mual dan muntah serta kelelahan.
Demam berdarah bisa mengakibatkan komplikasi berupa kerusakan organ, pendarahan internal, edema paru, efusi pleura, dan syok yang bisa berujung kematian.[]
Editor: Lia Dali