Mantan Aktivis 98 Gelar Aksi Unjuk Rasa Tunggal di Sigli untuk Memprotes Revisi UU Pilkada
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat bagi semua.

Andi Firdaus, aktivis 98 di Sigli | Foto: Fakhrurrazi/Pintoe.co
PINTOE.CO - Mantan aktivis 98 asal Aceh, Andi Firdaus, menggelar aksi unjuk rasa tunggal (dilakukan seorang diri) di sekitar Tugu Aneuk Mulieng Simpang Empat Sigli. Unjuk rasa ini ia lakukan sebagai bentuk protes atas pembangkangan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
DPR tetap melanjutkan revisi UU Pilkada meskipun MK sebagai lembaga tinggi negara telah membuat putusan yang tidak boleh dianulir oleh DPR. Andi pun menilai bahwa tengah terjadi krisis konstitusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Akibatnya, Indonesia kini berada di dalam bahaya otoritarianisme yang seakan mengembalikan Indonesia ke era kolonialisme dan penindasan. Tingkah-polah tercela yang diperlihatkan para anggota DPR itu, tak lain dan tak bukan merupakan perwujudan kolusi dan nepotisme, yang pada 1998 telah dilawan dengan keras oleh aksi massa dan mahasiswa sehingga melahirkan Reformasi," kata Andi Firdaus dalam keterangan tertulis yang diterima Pintoe.co pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Menurut Andi, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat bagi semua, termasuk semua lembaga tinggi negara.
Pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dengan mengabaikan putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No.70/PUU-XXII/2024 sehari setelah diputuskan, nyata-nyata DPR sangat mencederai sikap kenegarawanan yang dituntut dari para wakil rakyat.
"Tidak ada dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengubah persyaratan usia calon kepala daerah termasuk besaran kursi parpol melalui revisi UU Pemilihan Kepala Daerah," tulis Andi.
Andi berpendapat, perubahan-perubahan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa antarlembaga tinggi negara seperti Mahkamah Konstitusi versus DPR sehingga kelak hasil pilkada justru akan merugikan seluruh elemen masyarakat karena bersifat kontraproduktif dan akan menimbulkan kerusakan kehidupan bernegara.
Selain itu, konsekuensi yang tak terelakkan adalah runtuhnya kewibawaan negara, lembaga-lembaga tinggi negara, dan hukum akan merosot ke titik nadir bersamaan dengan runtuhnya kepercayaan masyarakat.
"Kami tersentak dan geram karena sikap dan tindak laku para pejabat baik di tataran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif yang sangat arogan dan nyata-nyata mengingkari sumpah jabatan mereka," jelasnya.
"Kondisi saat ini merupakan kondisi genting sehingga kami perlu menyikapi kegentingan tersebut dengan mengimbau semua lembaga negara terkait untuk menghentikan revisi UU Pilkada," seru dia.[]