Pada 25 Mei 1959, musyawarah antara Misi Hardi dan Dewan Revolusi berlangsung. Pertemuan itu menghasilkan keputusan besar untuk Aceh.

Sejarah Aceh Hari Ini: Misi Hardi dan Status Istimewa untuk Aceh

Gubernur Aceh Ali Hasjmy bersama Wakil Perdana Menteri Hardi |Repro: A Hasjmy

PINTOE.CO - Pada awal kemerdekaan, Aceh adalah sebuah keresidenan dalam Provinsi Sumatera. Namun, pada akhir 1949, Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Propinsi Sumatera Utara dan ditingkatkan menjadi provinsi yang berdiri sendiri. Sebagai gubernur, diangkat Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo.

Sayangnya, status provinsi itu tak bertahan lama. Pemerintah Pusat, lewat  Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, kembali menjadikan Provinsi Aceh sebagai keresiden di bawah Sumatera Utara.

Perubahan status itu memicu gejolak politik. Para pemimpin politik tak terima Aceh kembali jadi keresidenan. Sebagai gubernur, Teungku Daud Beureueh melakukan lobi-lobi ke Pusat. Namun, upaya itu tak membuahkan hasil.

Puncaknya, pada 21 September 1953, seusai kongres ulama di Pidie, Daud Beureueh  memproklamirkan Aceh bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) di bawah pimpinan Kartosoewirjo yang berpusat di Jawa Barat. Gerakan yang ingin menjadikan Indonesia sebagai  negara Islam ini juga dikenal sebagai  Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Kekecewaan Daud Beureueh, antara lain tergambar dalam sebuah pidatonya pada suatu malam di depan Wakil Presiden Muhammad Hatta saat berkunjung ke Banda Aceh.

“Maka dengan ini, atas nama seluruh rakyat Aceh, saya serahkan mandat sepenuhnya kepada Bung Hatta untuk membubarkan Provinsi Otonomi Aceh kapan saja, bahkan malam ini juga! Tetapi jika itu terjadi, kami akan membangun negara dengan cara kami sendiri!”

Teungku Daud membuktikan ucapannya tak sekadar gertak belaka. Perlawanan bersenjata pun dimulai. Bersama Daud Beureueh, turut serta sejumlah perwira TNI dan Polisi yang kecewa atas perubahan status Aceh. Salah satunya adalah Kolonel Hasan Saleh. Dia yang tadinya seorang perwira TNI yang pernah turut menumpas pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi, berbalik arah memperkuat barisan bergabung dengan misi pemberontakan Teungku Daud Beureueh.

Pemerintah pusat di bawah kendali Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo meresponnya dengan jalan militer. Sikap itu ditegaskan Ali Sastroamidjojo dalam sidang DPR di Jakarta. Prinsipnya, setiap pemberontakan atau pengacau, harus dibalas dengan senjata pula. Aceh dinyatakan sebagai daerah  Militaire Bijstand (Daerah Berbantuan Perang).

Kebijakan itu menuai protes dari pemimpin Aceh. Dari New York, Amerika Serikat, seorang pemuda Aceh  berusia 28  tahun mengirimkan surat protes di koran The New York Times pada September 1954, tepat setahun setelah pemberontakan DI/TII diproklamirkan. Pemuda itu bernama Hasan Tiro (kelak memimpin perlawanan  Gerakan Aceh Merdeka).

Dalam suratnya, Hasan Tiro meminta Ali Sastroamidjojo menghentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, rakyat Jawa Tengah, rakyat Sulewesi Selatan, Sulewesi Tengah dan rakyat Kalimantan. Hasan Tiro meminta agar P.M. Ali Sastroamidjojo membebaskan semua tahanan politik.

Alih-alih memenuhi permintaan Hasan Tiro, Ali Sastroamidjojo justru mencabut paspor diplomatik Hasan Tiro.

Di Aceh, pertempuran demi pertempuran terus berlanjut.

Situasi agak mereda setelah kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh pada 1955. Burhanuddin Harahap dari partai Masyumi yang menggantikan Ali mengambil kebijakan lebih lunak. Jalan dialog mulai ditempuh. Jalur komunikasi dengan pemimpin DI/TII mulai dibangun.

Pada 14 November 1955 dalam surat yang ditandatangani oleh Hasan Ali (Perdana Menteri DI/TII Aceh), pihak Darul Islam Aceh menyatakan sepakat  mengakhiri pemberontakan melalui perundingan dengan syarat agar diadakan genjatan senjata terlebih dahulu.

Saat itu, pimpinan DI/TII terpecah jadi dua. Situasi itu antara lain digambar oleh menantu Tengku Daud Beureueh, M. Nur El Ibrahimy, dalam bukunya "Teungku Muhammad Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh" terbitan 1982.

Teungku Daud Beureueh yang sudah tak percaya kepada Pusat bersikukuh tak ingin damai. Namun, sejumlah pimpinan lainnya seperti A. Gani Usman (Ayah Gani) dan Hasan Saleh ingin menempuh jalan damai. Kelompok inilah yang kemudian membentuk Dewan Revolusi dan bersedia berunding dengan Pusat.

Di tengah proses merintis jalan damai itu, Pemerintah Pusat menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara. Disahkan pada 9 November 1956 oleh Presiden Soekarno, UU itu diundangkan pada 7 Desember 1956. 

Seturut dengan itu,sebagai Gubernur Aceh ditunjuklah Ali Hasjmy yang saat itu bekerja sebagai pegawai senior di Kementerian Sosial. Ali Hasjmy dilantik pada 27 Januari 1957.

Dalam bukunya bertajuk "Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan", Ali Hasjmy bercerita bahwa sebelum resmi menjabat, dirinya sempat ditanya oleh Menteri Dalam Negeri apakah bersedia menjadi Gubernur Aceh. Merespon itu, Ali Hasjmy menjawab,"Saya akan pulang ke Aceh sebagai Gubernur dengan membawa air, bukan bensin dan api."

Dengan filosofi "membawa air" itulah Ali Hasjmy mencari jalan damai untuk memadamkan pemberontakan DI/TII.

Didukung Penguasa Perang, Sjamaun Gaharu, Ali Hasjmy menjalin kontak dan menggelar pertemuan dengan sejumlah pimpinan Darul Islam. Pertemuan demi pertemuan itu mampu melunakkan hati pimpinan Darul Islam, terutama dari faksi Dewan Revolusi.

Maka pada 8 April 1957, empat bulan setelah Ali Hasjmy menjadi gubernur, terjadilah pertemuan formal antara Dewan Revolusi dengan pemerintah provinsi. Pertemuan ini kelak dikenang sebagai Ikrar Lamteh.

Kondisi terkini balai Ikrar Lamteh. Foto diambil pada 16 April 2024 | Foto: Mirisa Hasfaria for Pintoe.co
Kondisi terkini balai Ikrar Lamteh. Foto diambil pada 16 April 2024 | Foto: Mirisa Hasfaria for Pintoe.co

Dari pemerintah provinsi hadir Gubernur Ali Hasjmy, Kepala Polisi Muhammad Isya dan Komandan Militer Daerah Aceh Syamaun Gaharu.  Sementara pihak Darul Islam dihadiri oleh Perdana Menteri Darul Islam Hasan Ali, Menteri Pertahanan Darul Islam Hasan Saleh, Bupati Aceh Besar Darul Islam Ishak Amin dan seorang tokoh Darul Islam lainnya, Pawang Leman.

Pertemuan berlangsung di sebuah balai di rumah Pawang Leman di Gampong Lamteh, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Letaknya tak jauh dari pantai Ulee Lheu, Banda Aceh.

Ikrar Lamteh menghasilkan kesepakatan untuk meletakkan senjata, dan kesepakatan lain antara pemerintah lokal dan DI/TII untuk mengutamakan kepentingan rakyat, dan daerah Aceh di atas kepentingan kelompok. Gencatan senjata ini sempat berjalan sampai 1959.

Kubu Dewan Revolusi yang lebih moderat bersikap menerima pengembalian status Provinsi Aceh dengan otonomi luas dan status istimewa. Di lain pihak, Teungku Daud Beureueh berpendapat bahwa provinsi dan otonomi luas saja belum cukup. Mereka menghendaki pelaksanaan unsur syariat Islam sesuai janji dan komitmen Presiden Soekarno saat datang ke Aceh pada 1948.

Lantaran damai belum sepenuhnya terwujud, pada Mei 1959, Perdana Menteri Djuanda mengutus Wakil Perdana Menteri Mr Hardi datang ke Aceh yang dikenal dengan Misi Hardi.

Tiba di Aceh pada 23 Mei 1959, Mr Hardi dan rombongan melanjutkan musyawarah dengan Dewan Revolusi.

Pada 24 Mei 1959, delegasi Pemerintah Pusat yang berjumlah sekitar 100 orang bertemu Gubernur Aceh dan pejabat terkait sebagai bekal sebelum berunding dengan Dewan Revolusi keesokan harinya. 

Pada 25 Mei 1959, musyawarah antara Misi Hardi dan Dewan Revolusi berlangsung. Dari pihak Dewan Revolusi hadir 25 orang antara lain A. Gani Usman (Ayah Gani) sebagai ketua, Amir Husin Almujahid, Hasan Saleh, Husin Jusuf, T.M. Amin, T.A. Hasan, Ishak Amin, dan A. Gani Mutiara.

Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan damai. Pusat setuju  menetapkan Aceh sebagai “Daerah Istimewa”, dimana Aceh boleh mendapatkan otonomi –termasuk memakai syariat Islam. Kesepakatan itu dituang dalam Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Misi/1959.

Walhasil, sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau Propinsi Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan sebutan lengkap Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Sebagai konsekuensinya, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Status ini dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.

Namun, perubahan status itu tak melunakkan hati  Teungku Daud Beureuh yang masih melanjutkan misinya melawan Pusat.

Barulah pada 9 Mei 1962, dengan bujukan penuh hormat dari Pangdam  Kolonel Mohammad Jasin (pengganti Sjamaun Gaharu), Teungku  Daud Beureueh luluh dan bersedia turun gunung. Berkat perjuangannya, Aceh kembali menjadi provinsi dan  menyandang status Daerah Istimewa.[]

ikrarlamteh sejarahaceh daerahistimewaaceh misihardi pinto aceh