BRA dan Korupsi Uang Beras Bantuan di Aceh Tahun 1946
Kejadian “bercampurnya” penegakan hukum kasus korupsi dengan intrik politik pernah terjadi di Aceh pada awal tahun 1946.
antor Badan Reintegrasi Aceh (BRA) | Foto: Pintoe.co/Opelia
PINTOE.CO - Ketua Badan Reintegrasi Aceh Suhendri diduga telah menyelewengkan dana bantuan untuk korban konflik Aceh. Tak lama setelah proyek bantuan yang manipulatif itu terungkap, Suhendri dibawa ke meja pemeriksaan. Berjam-jam lamanya, ia diperiksa di Kejaksaan Tinggi Aceh.
Sementara di warung-warung kopi, percakapan dan gosip tak bisa dibendung. Selain dilihat dari sisi pelanggaran hukum, perkara Suhendri disebut-sebut sedang dimanfaatkan pihak tertentu untuk menjalankan intrik politik terkait Pilkada Aceh 2024. Ada desas-desus, kasus ini bakal menjadi alat untuk menekan satu tokoh politik populer yang hendak mengandidatkan diri. Namun, kabar burung ini pasti sulit dibuktikan.
Kejadian “bercampurnya” penegakan hukum kasus korupsi dengan intrik politik pernah terjadi di Aceh pada awal tahun 1946. Waktu itu, beredar berita yang menyebut beberapa pegawai dan pejabat Aceh telah mencuri aset pemerintah daerah. Mereka dituduh secara diam-diam telah mengambil stok kain yang tersimpan di gudang milik Keresiden Aceh lalu menjualnya. Hasil penjualan kelak dipakai untuk keperluan pribadi.
Seorang pegawai bernama Moehamad mengaku kepada polisi bahwa ia telah memanfaatkan uang penjualan kain itu untuk membuat perkakas rumah tangganya. Nama lain yang ikut terseret adalah Teuku Muhammad Ali Panglima Polim dan Haji Muhammad Zainuddin. Namun setelah pemeriksaan polisi, Haji Zainuddin dinyatakan tak bersalah. Orang yang ditetapkan bertanggung jawab atas penyelewengan uang kain itu ialah Panglima Polim selaku Asisten Residen.
Laporan tertulis Polda Aceh menyebutkan: “Pengeloearan kain2 dari goedang Pemerintah jang dioeroes oleh toean Hadji Zainoeddin, adalah atas perintah toean besar Ass. Residen t/h (T. Panglima Polim Mohd. Ali) dan ini tidak ada kedapatan kesalahan toean Hadji Zainoeddin” (DPKA, arsip nomor AC01-45/4-45.1).
Biarpun dinyatakan tak tersangkut kasus kain, Haji Zainuddin rupanya ditetapkan bersalah dalam kasus lain, yakni penyelewengan uang beras yang dilakukannya pada Januari 1946. Kasus ini baru terungkap pada 12 Februari 1946, usai polisi menyelidiki dokumen-dokumen keuangan yang menjadi tanggung jawab Haji Zainuddin sebagai Kepala Kantor Urusan Makanan (sebuah lembaga yang mengurusi pengumpulan beras di seluruh Aceh, dibentuk sejak masa pendudukan Jepang).
Kasus tersebut bermula ketika Haji Zainuddin diharuskan menyetor uang pengadaan beras bantuan untuk pegawai daerah ke rekening pemerintah. Setibanya di bank, uang tunai yang Haji Zainuddin bawa dari kantornya itu kemudian justru ia setor ke rekening pribadinya di BNI Kutaraja. Alhasil, tercampurlah uang pengadaan beras dengan uang pribadi Haji Zainuddin.
Dari sinilah cerita mulai kusut. Haji Zainuddin ternyata tak menghitung terlebih dahulu berapa uang beras yang ia bawa dari kantor dan tidak ada catatan mengenai jumlah pasti uang tersebut. Di samping itu, Haji Zainuddin juga tak tahu berapa jumlah uang pribadinya yang turut ia setor ke rekening yang sama.
“Tidak bisa Hadji Zainoeddin memberi keterangan kepada polisi, jaitoe berapa banjak oewang kepoenjaannja sendiri dan berapa banjak oewang kepoenjaan Pemerintah,” tulis Polda Aceh dalam laporannya.
Lebih kacau lagi, pihak Keresidenan Aceh pun tak punya catatan jumlah uang pengadaan beras tahun 1946. Yang diketahui hanyalah jumlah keseluruhan uang dalam rekening Haji Zainuddin usai penyetoran dilakukan, yakni f13.954.85. Berapa persisnya uang pengadaan beras dari nominal ini, tidak ada yang mengetahui pasti. Alhasil, ketika Keresiden Aceh menuntut Haji Zainuddin segera mengembalikan uang beras yang telah digelapkannya, tak disebut berapa jumlah uang yang harus dikembalikan. Tuntutan ini disampaikan melalui sebuah surat rahasia Nomor 125/Rah, bertanggal 19 Februari 1946.
Karena tidak ada titik temu, Haji Zainuddin lantas didesak menyetor semua uang yang ada dalam rekening pribadinya ke rekening pemerintah. Dengan janji: apabila nanti Haji Zainuddin bisa menunjukkan bukti yang kuat mengenai jumlah pasti uang pribadinya, maka uang itu akan dikembalikan oleh pemerintah. Janji ini tidak membuat Haji Zainuddin tenang. Ia gelisah sebab akan kehilangan banyak uang. Untungnya setelah pembicaraan yang alot, disepakati bahwa BNI Kutaraja hanya akan mengambil uang sebesar f2.580 dari rekening Haji Zainuddin untuk dipindahkan ke rekening pemerintah atas nama Kepala Kantor Pendjabat Makanan.
Jumlah f2.580 itu sebetulnya hanyalah perkiraan Haji Zainuddin. Bukan jumlah pasti uang beras yang ia selewengkan. Alhasil walaupun ada uang yang disetor ke rekening pemerintah, Haji Zainuddin tetap dinyatakan bersalah dan ditahan.
Kepada polisi, Haji Zainuddin mengaku sempat menarik sejumlah uang pada 26 Januari 1946 di BNI Kutaraja, usai penyetoran uang beras ke rekeningnya. Uang tersebut dipakai untuk bisnis pribadi.
Haji Zainuddin kemudian mengundurkan diri dari jabatannya. Ia merasa ada intrik di balik kasus yang menimpanya. Dalam “Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan terhadap Tradisi” (1997), sejarawan M. Isa Sulaiman menyebutkan Panglima Polim turut mengambil langkah yang sama dengan Haji Zainuddin. Keduanya “tidak betah dengan suasana politik yang dipenuhi oleh hasut dan fitnah”.
Saat itu Kantor Urusan Makanan ikut terimbas konflik kaum hulubalang dengan kelompok rakyat yang diorganisir Persatuan Ulama Seluruh Aceh. PUSA tak senang para hulubalang punya pengaruh dalam pengelolaan pangan daerah. Haji Zainuddin kemudian digantikan oleh T. M. Amin, seorang keturunan hulubalang yang dekat dengan pemimpin-pemimpin PUSA.[]