Muslim Rohingya Kembali Terancam dari Tentara Arakan
Sekitar 550.000 Muslim Rohingya tinggal di Rakhine dan sekitarnya, tetapi mereka berada dalam bahaya serius.

Muslim Rohingya terusir karena aksi brutal militer Myanmar sejak Agustus 2017
PINTOE.CO - Muslim Rohingya yang telah lama menjadi korban kekerasan militer Myanmar kini menghadapi ancaman baru dari kelompok bersenjata Tentara Arakan (Arakan Army/AA).
Hal ini diungkapkan oleh Nay San Lwin, salah satu pendiri Koalisi Rohingya Merdeka.
“Tentara Arakan memiliki niat yang sama dengan militer Myanmar terkait Rohingya,” ujar Lwin dikutip dari Antara, pada Kamis, 5 Desember 2024.
Tentara Arakan, kelompok pemberontak etnis Buddha yang didirikan pada 2009, memperjuangkan otonomi lebih besar di Negara Bagian Rakhine. Mereka sebelumnya terlibat konflik bersenjata dengan militer Myanmar, terutama pada 2018 hingga 2020.
Saat ini, sekitar 550.000 Muslim Rohingya tinggal di Rakhine dan sekitarnya, tetapi mereka berada dalam bahaya serius.
Menurut Lwin, meskipun militer Myanmar masih beroperasi di wilayah itu, sebagian besar daerah dikuasai oleh Tentara Arakan.
"Beberapa bulan terakhir, Tentara Arakan telah membunuh lebih dari 2.500 Muslim Rohingya dan memaksa 300.000 lainnya mengungsi ke dua kota," ungkap Lwin.
Selain itu, lebih dari 30.000 warga Rohingya dilaporkan melarikan diri ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri.
Lwin menyerukan komunitas internasional untuk segera membangun zona aman guna melindungi Rohingya dari kekerasan yang semakin meningkat.
"Zona aman adalah satu-satunya solusi yang layak untuk saat ini," katanya.
Sejak 2017, lebih dari 700.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar dan mencari perlindungan di Bangladesh.
Mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian di Cox's Bazar dengan kondisi minim sumber daya dan masa depan yang tidak pasti.
Menurut Lwin, para pengungsi tidak akan dapat kembali ke Rakhine selama wilayah itu masih berada di bawah kendali Tentara Arakan.
Ia menyebut tindakan Tentara Arakan sebagai kelanjutan dari "urusan yang belum selesai" militer Myanmar, seperti yang pernah diungkapkan pada 2018.
Lwin mengkritik Dewan Keamanan PBB yang lebih fokus pada bantuan kemanusiaan daripada menyelesaikan akar masalah krisis Rohingya.
Ia memperingatkan bahwa situasi ini akan memburuk jika tidak ada langkah konkret.
Ia juga mendesak negara-negara untuk mendukung kasus hukum internasional, termasuk tuntutan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
"Lebih dari 150 negara telah menandatangani konvensi genosida. Mereka semua bisa bergabung agar kasus ini menjadi besar," ujarnya.
Pada 27 November, Jaksa ICC meminta surat perintah penangkapan untuk kepala junta Myanmar, Min Aung Hlaing, atas keterlibatannya dalam penganiayaan dan deportasi Muslim Rohingya pada 2017. []
Editor: Zulkarnaini