BRA Diduga Jadi Alat Politik: Korban Konflik Tak Pernah Terima Bantuan
Proyek BRA itu telah dijadikan alat untuk memperkaya diri dan kroni. Namun, ada dugaan bahwa proyek itu tak hanya dinikmati Suhendri dan lima orang lainnya.

Kejati Aceh menahan Ketua BRA dan lima tersangka korupsi pengadaan benih ikan kakap dan pakan rucah untuk korban konflik di Rutan Klas II B Banda Aceh, Selasa (15/10/2024) I Foto: Istimewa.
PINTOE.CO - Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dibentuk pada 15 Februari 2006. Fungsi lembaga pemerintah ini ialah untuk menghadirkan program-program yang dapat mendorong kesejahteraan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan korban konflik di Aceh.
BRA sudah beberapa kali berganti kepemimpinan. Pada 25 November 2022, Suhendri, atas rekomendasi Muzakir Manaf selaku ketua Komite Peralihan Aceh (wadah mantan GAM), ditunjuk sebagai Kepala BRA yang baru. Ia dikenal sebagai kontraktor proyek-proyek pemerintah.
Tanggal 15 Juli 2024, ia ditetapkan sebagai tersangka proyek pengadaan budi daya ikan kakap dan pakan rucah untuk korban konflik senilai Rp15,7 miliar.
Selain Suhendri, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menetapkan beberapa tersangka lainnya, yakni ZF (koordinator atau penghubung Ketua BRA), Mhd (Kuasa Pengguna Anggaran pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan runcah), M (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan runcah), ZM (peminjam perusahaan untuk pelaksanaan pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan runcah), HM (koordinator atau penghubung rekanan penyedia).
Setelah beberapa bulan pemeriksaan, Kejati Aceh akhirnya menahan mereka pada 15 Oktober lalu.
Dari hasil pemeriksaan, proyek tersebut dimulai pada 7-30 Desember 2023 dengan dana bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) Perubahan 2023. Kepada Jaksa Penuntut Umum, Zamzami mengakui proyek itu berasal dari dana pokir Saiful Bahri alias Pon Yaya, mantan Ketua DPR Aceh dari Partai Aceh. (Lihat: Sidang Korupsi BRA, JPU: Proyek Fiktif BRA Rp15 Miliar Milik Pon Yaya Partai Aceh dari Kesaksian Zamzami )
Setelah uang dicairkan dari bank dalam bentuk uang tunai, Zamzami mengantarkan seluruh uang itu ke Suhendri.
"Kami antar menggunakan dua mobil ke sebuah showroom mobil di Banda Aceh pada 29 Desember 2023 sore. Semua ada buktinya," kata Zamzami kepada Pintoe.co beberapa bulan lalu.
Zamzami (kanan) berfoto bersama Ketua BRA Suhendri saat penyerahan uang proyek di sebuah showroom mobil di Banda Aceh | Foto: For Pintoe.co
Proyek ini sejatinya dibuat untuk membantu para korban konflik di Aceh Timur punya usaha budi daya perikanan sehingga mereka bisa sejahtera.
Dalam dokumen proyek tertulis ada sembilan kelompok masyarakat korban konflik di Aceh Timur yang akan memperoleh bantuan tersebut. Total anggarannya Rp15,7 miliar.
Namun, sembilan kelompok itu mengaku tidak pernah mengajukan maupun menandatangani pengajuan hibah untuk budi daya ikan kakap dan pakan rucah untuk masyarakat korban konflik.
Orang-orang yang jadi anggota kelompok mengaku tak pernah mendapat bantuan dari BRA. Hal ini menjadi pegangan kuat bagi pihak kejaksaan untuk menetapkan bahwa BRA di bawah kepemimpinan Suhendri telah membuat proyek fiktif yang keuntungannya dinikmati segelintir orang.
"Sembilan kelompok penerima manfaat itu direkayasa termasuk surat-surat. Mereka tidak pernah mengajukan dan menandatangani pengajuan. Proses evaluasi dan monitoring hibah kepada semua anggota kelompok adalah palsu," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan.
Temuan lainnya, Suhendri melakukan verifikasi terhadap sembilan kelompok yang dia tentukan tanpa melalui mekanisme yang berlaku.
Dalam persidangan pada 8 November 2024, JPU menyatakan Suhendri menerima fee sebesar Rp9 miliar lebih dalam proyek fiktif tersebut.
"Untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain ingin memakai terdakwa satu Suhendri menerima fee sekitar Rp9.600.720.648," kata JPU saat membacakan dakwaan di hadapan majelis hakim.
Selain Suhendri, sejumlah saksi juga disebut menerima fee, seperti saksi Zamzami (tersangka dalam berkas terpisah) menerima fee sebesar Rp3 miliar lebih. Sementara Muhammad, Mahdi, dan Zulfikar, masing-masing menerima fee senilai Rp750 juta. Saksi lainnya, Hamdani, menerima Rp10 juta.
Proyek BRA itu telah dijadikan alat untuk memperkaya diri dan kroni. Namun, ada dugaan bahwa proyek itu tak hanya dinikmati Suhendri dan lima orang lainnya.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian menjelaskan, kasus korupsi proyek Rp15,7 miliar itu terlalu besar untuk hanya dinikmati enam orang. Ada kemungkinan pihak lain di Sekretariat BRA ikut terlibat dalam kesalahan administrasi yang masuk kategori tindak pidana korupsi.
"Kita harap fakta-fakta yang muncul di persidangan tidak ditutupi," kata Alfian kepada Pintoe.co.
Menurut Alfian, kerugian negara sebesar Rp15,7 miliar tidak hanya disebabkan oleh kesalahan administrasi dari lima orang yang sudah ditahan. Kemungkinan dana tersebut juga mengalir ke pihak lain dan ini perlu ditelusuri dalam persidangan.
Orang-orang yang memimpin BRA sejak lembaga ini dibentuk diketahui dekat atau berafiliasi dengan Partai Aceh, partai yang dibentuk oleh mantan GAM seusai perjanjian damai dengan Pemerintah Indonesia. Dalam perjalanannya, sudah jadi rahasia umum, elite Partai Aceh kerap “mengatur” anggaran pengadaan proyek lembaga ini.
Hal ini tidak keliru apabila anggaran tersebut betul-betul diarahkan untuk membangun kesejahteraan mantan kombatan GAM dan masyarakat Aceh korban konflik.
Namun, kenyataannya masih banyak mantan kombatan GAM dan korban konflik hidup melarat dan jauh dari sejahtera. Mereka seperti tak mendapat sentuhan dari BRA yang “dikontrol” elite Partai Aceh. []